Tradisi Persembahan Selalu Diganggu Pendatang Baru
Januari 12, 2022
Catatan : KP Norman Hadinegoro. Jakarta – jurnalpolisi.id Tradisi persembahan kepada Bumi dan alam semesta Nusantara adalah keyakinan ajaran para leluhur Nusantara dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal ini tidak lepas dari adanya pendatang baru dengan berselubung membawa kepentingan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina, India, Jepang, AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing sebagai kedok untuk menjarah kekayaan Alam Nusantara, Kehadiran pendatang baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya leluhur itu tidak layak, budaya tradisional memalukan, rendah martabat bagi pendatang, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian akan masuk syurga.Gerakan tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan politik asing yang tengah bertarung di negeri Nusantara motifnya ingin merebut kekayaan bumi Nusantara. “Pendatang Baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap kearifan-kearifan lokal dengan cara memberikan contoh-contoh patologi sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran leluhur. Pendatang baru tidak berhenti sampai disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Nusantara dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan lokal berlahan lahan dimusnahkan, antara lain tidak boleh memakai kebaya, musryk membawa kembang kemakam leluhur, dilarang belajar kesenian tradisional, situs peninggalan leluhur dihancurkan bahkan tradisi persembahan sedekah bumi, sedekah panen dengan membawa sesaji dianggap musrik. Bahkan banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa Indonesia sebelum era kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut. Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “Pendatang Baru” yang tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis, tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “di-sama-makna-kan” dengan dosa dan larangan-larangan dogma agama; misalnya; kemusyrikan, gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya, sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sbb; Klenik : merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik” ini selalu ada. Mistis : adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf. Tahyul : adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib ciptan Tuhan. Manusia Nusantara sangat mempercayai adanya kekuatan gaib yang dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta. Kepercayaan kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam. Tradisi : dalam tradisi Nusantara, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau simbol.Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa alam yang dipercaya manusia Nusantara sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan.Manusia Nusantara akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka manusia Nusantara dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran, ucapan, dan tindakan.Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan. Bagi manusia Nusantara , setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat doa terkabul.Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk kemubadiran, dst.Ajaran Leluhur : berisi kaidah moral dan budi pekerti luhur, serta memuat tata cara manusia dalam melakukan penyembahan tertinggi kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Akan tetapi, setelah abad 15 Majapahit runtuh oleh serbuan anaknya sendiri, dengan cara serampangan dan subyektif, jauh dari kearifan dan budi pekerti yang luhur, “Pendatang baru” menganggap ajaran leluhur nusantara sebagai biangnya kemusyrikan, kesesatan, kebobrokan moral, dan kekafiran. Maka harus dimusnahkan. Ironisnya, manusia Nusantara yang sudah “kejawan” ilang jawane, Suku sunda ilang sundane justru mempuyai andil besar dalam upaya cultural assasination ini. Mereka lupa bahwa nilai budaya asli nenek moyang mereka itulah yang pernah membawa bumi nusantara ini menggapai masa kejayaannya di era Majapahit hingga berlangsung selama lima generasi penerus tahta kerajaan.*