Hadapi Ancaman Mogok, Ketua DPD RI Minta Pemerintah Akomodir Keluhan Buruh
MADIUN – jurnalpolisi.id Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, meminta pemerintah menyikapi serius ancaman buruh yang akan mogok kerja pada 5 Agustus nanti. LaNyalla berharap pemerintah bisa mengakomodir keluhan para buruh. Tidak itu saja, LaNyalla menilai aksi mogok dapat mengancam perekonomian nasional. Karena produktivitas industri akan terganggu, bahkan berhenti. “Pemerintah perlu segera mencari jalan keluar. Lebih baik lakukan dialog dengan para buruh, dengarkan keluhan mereka dan cari jalan tengah supaya ada win-win solution,” ujar LaNyalla di sela masa reses di Jawa Timur, Rabu (28/7/2021). Para buruh melakukan pengibaran bendera putih sebagai bentuk protes sekaligus aksi mogok kerja. Karena, mereka merasa selama ini keluhan dan usulnya tidak didengar pemerintah. Selama pandemi ini, buruh mengeluh tidak ada jam kerja bergilir, pabrik beroperasi 100 persen, tidak ada obat gratis untuk buruh yang sedang isolasi mandiri, persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK), dirumahkan, hingga pemotongan upah. “Keluhan para buruh tersebut perlu diakomodasi. Mereka ini kelompok yang sangat terdampak pandemi. Bukan hanya dari sisi kesehatan tapi juga sisi ekonomi atau penghasilan mereka,” lanjutnya. LaNyalla menegaskan ancaman mogok kerja membuat produktivitas terhenti sehingga industri tidak bisa mengejar target produksi dan pendapatan. Dampak lainnya harapan menggenjot ekspor pun pupus. Karena fungsi produksi berhenti, maka fungsi perekonomian tidak berjalan juga secara optimal. “Kalau hal itu dibiarkan, perekonomian akan terpuruk lebih dalam. Untuk mengangkatnya butuh usaha yang lebih keras dan waktu lebih lama,” terang Mantan Ketua Umum PSSI itu. Senator asal Jawa Timur itu sepakat bahwa perlu adanya jam bergilir dan pengurangan kapasitas pekerja di pabrik agar penyebaran Covid-19 tidak meningkat. “Tetapi perlu ditegaskan dalam hal ini, perusahaan tidak memotong upah buruh. Pemerintah harus mengawal dan mengawasi agar perusahaan berkomitmen membayar gaji secara penuh,” sebutnya. Di sisi lain, LaNyalla memandang perlunya pemerintah ikut menaikkan nominal bantuan subsidi upah (BSU). Pemerintah berencana memberikan subsidi gaji sebesar Rp500 ribu per penerima per bulan untuk dua bulan, sehingga totalnya cuma Rp1 juta per penerima. “Idealnya ditambah menjadi Rp1,5 juta per bulan dan total subsidi yang diberikan Rp5 juta dalam tiga bulan. Karena efek PPKM ini bisa dirasakan sampai tiga bulan ke depan,” jelasnya lagi. Akibat PPKM, estimasi jumlah pengangguran dan orang yang berpotensi menganggur pun semakin bertambah. Makanya, LaNyalla menyarankan penerima BSU perlu ditambah jumlahnya dan diperluas jangkauannya. “Rencana awal hanya 8,8 juta penerima BSU, seharusnya 20 juta sampai 30 juta penerima. Menurut saya pekerja informal yang tidak punya BPJS perlu diperhatikan juga, jangan hanya yang terdaftar di BPJS ketenagakerjaan saja,” pungkasnya.(Red)