Babinsa Dikerahkan Lindungi Hutan, Tapi Pembalakan Liar di Tapanuli Selatan Makin Merajalela!
Tapanuli Selatan, jurnalpolisi.id
Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto mengumumkan langkah strategis dengan melibatkan Bintara Pembina Desa (Babinsa) dalam upaya perlindungan hutan di seluruh Indonesia.
Langkah ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara TNI dan Kementerian Kehutanan pada Selasa (5/11). Kerjasama ini bertujuan untuk memberdayakan Babinsa bersama Polisi Kehutanan dalam menjaga kelestarian hutan dan melaksanakan reboisasi, terutama di kawasan yang sudah kritis.
Jenderal Agus menekankan pentingnya kolaborasi antar lembaga untuk melindungi 125 juta hektar hutan Indonesia dari praktik perusakan yang kian marak.
“Kita memiliki Babinsa di lapangan yang akan bekerja sama dengan Polisi Kehutanan untuk menjaga hutan dan melakukan reboisasi. Ini penting untuk mencegah hutan kita diambil oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” ungkap Panglima TNI di Mabes TNI, Jakarta Timur.
Di sisi lain, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengapresiasi dukungan TNI, mengingat keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran di kementeriannya. “Kita realistis, dengan luas hutan 125 juta hektar, mustahil bisa dikelola hanya dengan kekuatan kami sendiri. Dukungan dari TNI dan 1Polri sangat penting,” ujarnya.
Di tengah upaya pemerintah pusat memperkuat perlindungan hutan, kasus pembalakan liar justru semakin marak di sejumlah daerah.
Salah satunya terjadi di Desa Lancat Julu, Kecamatan Arse, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pembalakan liar di wilayah ini semakin menjadi-jadi, dilakukan secara terang-terangan oleh oknum yang diduga berinisial JAN . Perusahaan beroperasi tanpa izin resmi yang sudah kedaluwarsa sejak awal tahun 2023.
Menurut informasi dari warga setempat, pembalakan liar ini telah berlangsung lama dan diduga mendapat dukungan dari pihak tertentu. “Mereka sudah mulai menebang pohon secara liar sejak bulan puasa 2023,” ujar seorang warga yang berinisial Bis. Ia mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak tegas.
“Pembalakan liar ini sudah lama terjadi. Kami minta Kepolisian, Gakkum, dan pihak terkait lainnya segera turun tangan sebelum kerusakan semakin parah,” tegas Bis.
Masyarakat Arse khawatir aktivitas ini akan merusak ekosistem setempat, meskipun lahan yang dibalak merupakan kawasan penggunaan lainnya (APL). Namun, dampaknya bisa meluas hingga menyebabkan erosi dan banjir di kemudian hari. “Kayu hasil pembalakan ditumpuk di tepi jalan, mereka seperti tidak takut dengan hukum karena merasa kebal hukum,” lanjut Bis.
Masyarakat menyadari bahwa tindakan pembalakan liar ini melanggar Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 50 ayat (3) huruf e, yang mengancam pelaku dengan pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal 5 miliar Rupiah. Tak hanya itu, pembeli kayu hasil pembalakan ilegal juga bisa dijerat sesuai Pasal 12 UU No. 18 Tahun 2013.
“Kami butuh ketegasan aparat. Jika penegakan hukum lemah, hutan kita akan semakin rusak, dan dampaknya akan terasa hingga ke generasi mendatang,” pungkas Bis.
Masyarakat Desa Lancat Julu berharap agar aparat hukum dan pemerintah segera mengambil tindakan konkret sebelum hutan di wilayah mereka habis ditebang.
Dukungan penuh dari TNI dan Polri, seperti yang disampaikan Panglima TNI, diharapkan dapat menjadi solusi untuk memperkuat pengawasan di lapangan.
Dengan adanya kerja sama antara TNI dan Kementerian Kehutanan, harapannya upaya pelestarian hutan tidak hanya menjadi wacana tetapi benar-benar terlaksana hingga ke pelosok desa.
Langkah ini juga diharapkan mampu memberantas praktik pembalakan liar yang merugikan lingkungan dan masyarakat.(P. Harahap)