Diduga Adanya Persekongkolan Jahat Dalam Pengadaan Interactive Display Senilai 11,5 Miliyar, Kepala Diskominfotik KBB Bungkam

BANDUNG BARAT, jurnalpolisi.id

Ada apa dengan bungkamnya Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik Kabupaten Bandung Barat (Diskominfotik KBB) saat dikonfirmasi terkait dugaan adanya indikasi Mark Up dalam pengadaan barang Interactive display senilai Rp11,5 Miliyar.

Sikap bungkamnya Kepala Diskominfotik KBB Yoppie Indrawan Iskandar, S.E., patut dipertanyakan, kuat dugaan dalam pengadaan barang tersebut terindikasi adanya persekongkolan jahat demi meraup keuntungan pribadi, kelompok maupun golongannya.

Pasalnya, Surat Konfirmasi yang ditujukan kepada Kepala Diskominfotik KBB oleh Redaksi Jurnal Polisi News dengan nomor surat: 12/JPN/IX/2024 tertanggal 17 September 2024 sampai dengan saat ini belum dijawab.

Padahal, Media Jurnal Polisi News hanya meminta penjelasan atau klarifikasi kepada Kepala Diskominfotik KBB Yoppie Indrawan terkait adanya isu miring soal pengadaan barang Interactive display yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) KBB tahun 2024. Mengingat, Diskominfotik KBB adalah garda terdepan dan corong Pemerintah dalam pengelolaan data dan informasi di lingkungan Pemerintah Daerah KBB.

Sebelumnya, Selasa (3/9/2024) narasumber yang identitasnya tak ingin diketahui menyampaikan, bahwa 16 Kecamatan di KBB telah menerima manfaat barang berupa satu unit Interactive display 86 inch yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD dari Diskominfotik KBB.

Menurut narasumber, harga yang tercatat dalam daftar barang milik daerah (BMD) senilai Rp248 juta di Kecamatan Cisarua diduga di Mark Up demi meraup keuntungan pribadi, kelompok maupun golongan.

Pasalnya, narasumber mengaku, bahwa ia pernah melakukan pengecekan harga Interactive Display dengan spesifikasi yang sama, bahkan sudah PPN. Namun, harga tersebut jauh dari harga yang tercatat dalam daftar BMD di Kantor Kecamatan Cisarua.

Kemudian dia mengindikasi adanya dugaan kecurangan dalam pengadaan Interactive Display melalui katalog elektronik (e-katalog).

Narasumber pun menduga, perusahaan penyedia barang sudah dikondisikan oleh pejabat pembuat komitmen (PPK) yang merupakan Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) KBB bersama dengan Kepala Diskominfotik KBB Yoppie Indrawan yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Kepala ULP KBB.

Masih dengan narasumber mengatakan, terindikasi PPK melakukan transaksi pembelian barang yang baru diunggah oleh perusahaan di situs e-katalog pada saat bukan jam kerja, dan PPK diduga melakukan pembelian dengan metode pemilihan e-purchasing di saat harga Interactive display tersebut mahal.

Terpisah, ketika Tim Investigasi Jurnal Polisi News mendatangi Kantor Kecamatan Cisarua, tampak Interactive Display tersebut telah dipasang set top box dan digunakan untuk menonton siaran televisi.

Saat dikonfirmasi Camat Cisarua Drs. Taufik Firmansyah, M.Si membenarkan, bahwa Interactive display itu dari Diskominfotik KBB.

“Iya betul itu dari Diskominfo dikirimkan kesini dan langsung dipasang disini,” ujarnya, Kamis (5/10/2024).

Dalam konfirmasinya, Taufik mengungkapkan, Pemerintahan Kecamatan Cisarua hanya sebagai penerima manfaat barang berupa Interactive Display dari Diskominfotik KBB sekitar satu atau dua bulan yang lalu.

“Saya lupa, sekitar satu atau dua bulan yang lalu lah persisnya,” imbuhnya.

Disinggung soal harga Interactive display yang tercatat dalam daftar BMD senilai Rp248 juta di Kecamatan Cisarua, Taufik mengatakan tidak tahu.

“Pengadaannya kan dari Diskominfo, jadi saya menerima barangnya saja. Saya tidak tahu berapa harganya,” pungkasnya.

Selanjutnya, aparat penegak hukum (APH) dengan segala kewenangannya diharapkan mampu menuntaskan indikasi adanya dugaan persekongkolan jahat tersebut. Meski belum ada pernyataan resmi mengenai perkembangan terbaru dari penyelidikan yang dilakukan oleh Unit Tipikor Polres Cimahi, pemeriksaan saksi-saksi diharapkan bisa mengungkap lebih banyak fakta baru yang belum terungkap.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Pemetaan Potensi Kecurangan Dalam Metode E-Purchasing Pada Proses Pengadaan Barang/Jasa di Indonesia sebelumnya, (22/2/2023). Dalam proses pelaksanaan pengadaan barang secara e-purchasing, ICW mengidentifikasi terdapat delapan potensi kecurangan yang muncul:

Pertama, adanya persekongkolan antara penyedia di katalog elektronik dengan PP/PPK untuk pengaturan harga. Persekongkolan yang dimaksud adalah adanya komunikasi yang dilakukan oleh PP/PPK – selaku pihak yang membuat paket di dalam sistem katalog elektronik – dengan penyedia. Pengaturan harga yang timbul karena adanya intensi untuk memperkaya diri sendiri atau pihak penyedia.

Kedua, PP/PPK saat memproses paket dengan fitur negosiasi, mereka tidak melakukan negosiasi. Hal ini akan meningkatnya anggaran belanja sehingga berpotensi menimbulkan pemborosan terhadap keuangan negara. Dalam sistem katalog elektronik harga yang ditawarkan oleh penyedia merupakan harga termahal. Apabila PP/PPK memproses paket dengan menggunakan fitur negosiasi, maka harga barang yang dibeli dapat ditekan hingga 30 persen. Selain itu, hingga saat ini sistem e-katalog hanya mengakomodir metode negosiasi harga, sehingga negosiasi harga menjadi proses yang wajib dilakukan.

Ketiga, adanya potensi persekongkolan yang dilakukan oleh PP/PPK kepada penyedia saat proses transaksi dengan modus “biaya klik”. Saat proses pemilihan barang, PP/PPK berwenang untuk memilih barang berdasarkan kebutuhan. Agar barang dapat dibeli, maka PP/PPK meminta “biaya klik” kepada penyedia atau penyedia memberikan suap kepada PP/PPK sebagai imbalan karena sudah membeli barang tersebut. Hal ini tentu dengan prasyarat bahwa adanya komunikasi yang dibangun antara PP/PPK dan penyedia.

Keempat, adanya potensi PPK tidak melakukan pemeriksaan terhadap barang yang dikirimkan oleh distributor. Akibatnya, barang yang diterima tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditawarkan oleh distributor di dalam sistem katalog elektronik.

Kelima, adanya ongkos kirim fiktif yang diatur antara penyedia dan PP/PPK. Ongkos kirim yang diterima oleh penyedia akan diberikan kepada PP/PPK saat mengambil barang ke lokasi penyedia.

Keenam, persekongkolan dalam pengaturan ongkos kirim. Selisih nilai ongkos kirim diberikan kepada PP/PPK oleh penyedia. Caranya, pada saat melakukan proses pembelian, PP/PPK berkomunikasi dengan pihak penyedia untuk mengirimkan barang ke lokasi yang bukan merupakan lokasi dibutuhkannya barang. Misal, PP/PPK Kabupaten X membeli barang kepada penyedia melalui katalog elektronik. PP/PPK meminta penyedia untuk mengatur pengiriman barang ke Kota Y. Lokasi penyedia lebih dekat ke Kabupaten X dibanding Kota Y. Kesepakatan yang dibuat adalah bahwa selisih ongkos kirim akan diberikan kepada PP/PPK oleh penyedia.

Ketujuh, K/L/PD mendorong penyedia untuk memasukan barang ke katalog elektronik agar dapat dibeli oleh masing-masing institusi. Namun pembelian barang tersebut hanya terjadi satu kali, kemudian barang tersebut tidak pernah dibeli oleh institusi manapun.

Kedelapan, PP/PPK memilih barang bukan harga yang termurah. Dalam sistem katalog elektronik apabila ada suatu barang dengan jenis yang sama dan memiliki pilihan lebih dari satu, maka PP/PPK harus memilih barang dengan harga yang termurah sesuai dengan kebutuhan.

Dari hasil pemantauan terhadap potensi kecurangan dalam metode pengadaan publik pada metode e-purchasing di Indonesia, ICW menyimpulkan bahwa:

  1. Perubahan kebijakan dalam hal proses pencantuman komoditas dalam e-katalog mempermudah penyedia untuk memasukkan produknya. Namun, di sisi lain Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah memiliki tanggungjawab lebih besar ketika proses pembelian barang di e-katalog karena harus memastikan bahwa penyedia yang dipilih memiliki kualifikasi dan melakukan negosiasi harga karena harga yang tertera pada ekatalog adalah Harga Eceran Tertinggi (HET).
  2. Proses pembelian barang/jasa melalui katalog elektronik tidak memperlihatkan proses yang spesifik untuk mengecek kesesuain barang/ jasa yang diterima dengan spesifikasi awal. Ada proses verifikasi penyelesaian paket namun hanya disebutkan untuk menilai penyedia.
  3. Potensi kecurangan dalam metode e-purchasing bukan hanya dapat terjadi pada proses pembelian barang/jasa tapi juga pada saat proses pencantuman barang/jasa ke dalam katalog elektronik.
  4. ICW mengidentifikasi terdapat sembilan potensi kecurangan yang dapat terjadi dalam metode e-purchasing, antara lain: satu potensi kecurangan dapat terjadi pada saat proses pencantuman barang/jasa, dan delapan potensi kecurangan pada saat proses pembelian barang/jasa.

Dari hasil temuan tersebut, ICW merekomendasikan:

  1. LKPP harus segera mempublikasikan data transaksi e-purchasing pada setiap Kementerian/ Lembaga/ Pemerintah Daerah.
  2. LKPP harus segera membuat satu kanal untuk publik agar dapat melakukan pemantauan terhadap proses verifikasi dan pencantuman suatu produk ke dalam katalog elektronik untuk menghindari persekongkolan.
  3. LKPP perlu untuk memastikan bahwa proses verifikasi penyelesaian paket juga dilengkapi dengan mekanisme pemeriksaan kesesuaian barang/jasa yang dikirimkan dengan spesifikasi di katalog elektronik.
  4. LKPP harus memastikan bahwa ruang komunikasi antara PP/PPK dengan penyedia terekam dalam sistem sehingga potensi suap menyuap dapat diminimalisir.

RED – TIM INVESTIGASI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *