WARNING!!! Kematian Berulang Orangutan Tapanuli,Bukti Pengabaian Perlindungan Satwa di Proyek PLTA NSHE

TAPANULI SELATAN, jurnalpolisi.id

Kematian seekor anak Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) di area proyek PLTA PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) pada 4 Agustus 2024 kembali mencuatkan kegagalan dalam melindungi satwa langka ini.

Kejadian ini menambah daftar kematian Orangutan yang terus berulang di kawasan Batangtoru. Kasus yang diduga terjadi juga pada Juni 2024 lalu menjadi sinyal buruk terhadap upaya perlindungan satwa yang diklaim dilakukan oleh pihak-pihak terkait.

Ironisnya, kematian Orangutan ini tidak hanya sekadar musibah ekologis, melainkan cermin dari kebijakan yang abai terhadap keberlangsungan lingkungan. Batangtoru, yang menjadi satu-satunya habitat alami Orangutan Tapanuli, kini berubah menjadi lokasi proyek yang mengancam keberadaan satwa ini. Di tengah minimnya populasi Orangutan, proyek pembangunan energi terbarukan ini terus menelan korban.

P. Rambe, dari Forum Masyarakat Penggiat Konservasi Tabagsel (FMPKT), menyaksikan langsung matinya anak Orangutan berusia satu tahun tersebut. Bukti foto yang ia kumpulkan memperlihatkan betapa parahnya kondisi yang dihadapi satwa ini. “Ini bukan hanya soal satu Orangutan yang mati, tapi soal masa depan seluruh populasi yang makin hari makin terancam,” tegasnya.

Yang menjadi pertanyaan besar adalah: di mana tanggung jawab pemerintah dan lembaga terkait yang seharusnya melindungi satwa ini? BBKSDA Sumut sebagai pemangku kawasan konservasi tampak gagal menjalankan perannya. Kematian satwa kharismatik seperti Orangutan Tapanuli seharusnya menjadi perhatian serius, namun faktanya, kasus ini seolah ditutup-tutupi dan tidak ada kejelasan informasi kepada publik. Ini menunjukkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kawasan konservasi.

Lebih parah lagi, upaya penyelamatan satwa dilindungi ini seakan hanya berhenti pada level seremonial. Kegiatan-kegiatan yang digadang-gadang untuk melindungi Orangutan sering kali hanya menjadi ajang formalitas tanpa langkah nyata di lapangan. Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa habitat Orangutan semakin tergerus, dan nyawa satwa langka ini terus terancam oleh ekspansi proyek yang mengatasnamakan pembangunan.

Pemerintah dan perusahaan terkait, terutama PT NSHE, tidak bisa terus berlindung di balik alasan pembangunan energi terbarukan. Jika proyek ini benar-benar “berkelanjutan”, mengapa Orangutan yang dilindungi terus mati di kawasan proyek? Bukankah pembangunan seharusnya mengutamakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian lingkungan?

Rambe mengungkapkan kecurigaannya bahwa malnutrisi adalah salah satu penyebab kematian anak Orangutan tersebut. Ini menambah panjang daftar kelalaian dalam upaya menjaga satwa liar yang seharusnya dilindungi. “Kematian ini adalah bukti nyata bahwa ekosistem Batangtoru sudah tidak lagi ramah bagi Orangutan,” ujar Rambe dengan nada prihatin.

Satu hal yang tidak bisa dibiarkan adalah pembiaran terhadap kasus ini. Sudah satu bulan lebih sejak kematian Orangutan tersebut, namun informasi terkait penyebab kematian dan langkah-langkah pencegahan serupa tidak pernah disampaikan kepada publik. Ini bukan hanya masalah teknis di lapangan, tapi masalah etika dan tanggung jawab publik.

Publik layak tahu. Pemerintah, khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui BBKSDA Sumut, harus segera melakukan klarifikasi dan penjelasan yang lengkap. Transparansi dan tindakan tegas sangat diperlukan, bukan hanya untuk mengungkap penyebab kematian Orangutan, tapi juga untuk memastikan bahwa tragedi ini tidak lagi terulang.

Kegagalan ini mengungkap realitas pahit tentang bagaimana proyek besar sering kali berjalan dengan mengorbankan lingkungan dan satwa yang dilindungi. Tuntutan agar izin operasional proyek PLTA ini dikaji ulang harus segera dipenuhi, dengan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan secara transparan dan partisipatif. Kematian Orangutan ini adalah sinyal darurat yang tidak boleh diabaikan.

Jika situasi ini terus dibiarkan tanpa ada tindakan nyata, tidak ada jaminan bahwa ekosistem Batangtoru, salah satu kawasan paling kaya keanekaragaman hayati di dunia, bisa bertahan. Bukankah pembangunan yang baik adalah pembangunan yang tidak merusak? ( P.Harahap)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *