Dugaan Pungli Berkedok Iuran Lapang Terjadi Di SMAN 1 Lembang, Orangtua Murid Kelas X Nyatakan Keberatan

BANDUNG BARAT, jurnalpolisi.id

Dunia pendidikan di Provinsi Jawa Barat kembali di ramaikan praktik dugaan pungutan liar (pungli). Pasalnya, dugaan pungli bermodus iuran lapang sekolah terendus di SMA Negeri 1 Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB).

Dari informasi yang diterima Tim Investigasi Jurnal Polisi News, dugaan pungli tersebut teridentifikasi terjadi setelah beberapa bulan tahun ajaran baru dimulai.

Dimana pihak sekolah menagih sejumlah uang pada murid kelas X dengan alasan iuran lapang. Besarannya pun tak main-main karena mencapai jutaan rupiah.

Salah satu orangtua murid kelas X di SMA Negeri 1 Lembang yang identitasnya tak ingin diketahui mengaku keberatan soal pungutan tersebut.

“Saya merasa keberatan, karena disebut keberatan memang iya, disebut tidak ini sudah anjuran sekolah, karena diharuskan semua murid kelas X itu, katanya untuk membayar iuran lapang. Nah, disitu diminta Rp2.500.000,00-, dan katanya boleh dicicil, hal itu saya merasa keberatan, uang untuk itu darimana, kan biaya sekolah itu mahal,” ujarnya, Rabu (6/3/2024).

Bagi murid yang tak mampu membayar iuran tersebut, sambungnya mengungkapkan, orangtua murid diwajibkan menyerahkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) kepada komite sekolah.

“Dimana saya misalkan tidak membayar tapi saya harus ajukan SKTM, bahwa memang saya tidak mampu (untuk membayar) terus saya ajukan ke komite. Jadi, disitu juga mungkin saya malu juga harus ajukan-ajukan seperti itu, mau tidak mau saya harus bayar, walaupun dicicil, uang darimana lah, saya juga punya anak lebih dari dua, belum lagi ada study tour dan lain-lain,” bebernya.

Tak hanya itu, orangtua murid kelas X itu juga mengatakan, kemungkinan praktik dugaan pungli berkedok iuran lapang tersebut bukan hanya terjadi di tahun ajaran 2023/2024 saja, ditahun ajaran sebelum-sebelumnya dugaan praktik haram tersebut juga telah terjadi.

“Karena yang di inikan (pungut) itu kelas X, jadi kalau kelas Xl, Kelas Xll saya tanya-tanya tetangga katanya sudah waktu kelas X, tapi masih ada pencicilan seperti itu. Tidak tahu saya itu, masuknya ke dana uang bangunan apa tidak tahu, jadi pokoknya itu, pas saya lihat di Group, ya seperti itu anjurannya, bayar Rp2.500.000,00,- itu katanya untuk lapang,” pungkasnya.

Saat disinggung Tim Investigasi Jurnal Polisi News, orangtua murid tersebut mengaku belum membayar iuran lapang tersebut, dikarenakan belum punya uang.

“Belum, dikarenakan memang saya tidak punya uang, tapi saya bingung untuk menyiapkan data-data seperti SKTM dan lain-lain. Terus saya malu untuk ajuan-ajuan seperti itu lah,” imbuhnya.

Sementara, ditemui Tim Investigasi Jurnal Polisi News pada Kamis (14/3/2024), pihak SMA Negeri 1 Lembang yang diwakili oleh Bambang Setiawan selaku Humas menolak untuk di wawancara, dan ia pun mengarahkan Tim Investigasi kepada pihak Komite Sekolah.

Keesokan harinya, Tim Investigasi Jurnal Polisi News mendatangi kembali SMAN 1 Lembang, saat dikonfirmasi Bendahara Komite Sekolah Febrianti membantah adanya pungutan.

“Kalau untuk pungutan itu tidak benar adanya, tapi kita komite pernah di bulan November saya lupa tanggal tepatnya, tapi nanti datanya bisa dilihat, bahwa kami mengeluarkan surat itu mengajak rapat orangtua untuk membicarakan hal tersebut. Jadi, awalnya berdasarkan dari RKAS kan sekokah punya RKAS, nahh.. ada beberapa kegiatan-kegiatan atau apapun yang dibutuhkan sekolah ataupun yang kami usulkan dari orangtua untuk melihat agar proses belajar mengajar juga bisa berjalan dengan baik nah itu yang tidak bisa dibiayai oleh dana-dana yang ada dari pemerintah gitu termasuk salah satunya adalah pembuatan Dom (aula terbuka),” ujarnya.

Kenapa kami komite, sambungnya menjelaskan, sebenarnya sudah ada beberapa tahun yang lalu terpikirkan di jabatan kita, bahwa di Lembang ini kan curah hujannya kan cukup tinggi.

“Jadi kalau udah curah hujannya tinggi si anak-anak itu sudah tidak bisa olahraga, sementara di sini lapangannya terbuka, jadi sempat ada pembicaraan diskusi dan segala macam bahwa gimana kalau seandainya kita coba buatkan Dom gitu, kita bangun Dom sehingga nanti fungsinya bukan hanya sebagai sarana olahraga aja tapi juga bisa sebagai misalnya ketika ada kegiatan sekarang kan dengan kurikulum merdeka, ada namanya kegiatan sokes, kegiatan sokes itu rata-rata di lapangan karena membutuhkan ruang yang terbuka. Nah kalau sementara dari beberapa aktivitas itu kan enggak mungkin terbuka banget pasti karena kegiatannya tuh seharian di Lembang punya intensitas hujan yang cukup tinggi ketika kegiatan sokes juga ada peneduh-peneduh gitu kan lumayan tuh kalau misalnya kalau kita SMA ini punya ruang semi tertutup kayak Dom mudah-mudahan itu bisa memfasilitasi siswa-siswa untuk tetap berkegiatan belajar mengajar terutama kegiatan pelajaran yang menggunakan alam di luar ruang, karena kan di SMA 1 Lembang ini juga banyak belajarnya itu enggak hanya sekedar di dalam ruangan aja, misalnya kayak di bawah pohon itu juga sebagai sarana itu adalah kegiatan pelajaran yang dilakukan di luar ruang itu menjadi favorit buat siswa-siswi itu sih dasar awal kenapa ada pembicaraan, ada ide gitu untuk membangun kalau kita buat kayak aula. Aula itu sebenarnya ya yang tidak terlalu tertutup tapi juga bisa nyaman untuk digunakan,” terangnya.

Terkait bahasa pungutan, lebih lanjut Febrianti mengklarifikasi, sebenarnya bukan pungutan.

“Kami mengajak orangtua untuk mendiskusikan bagaimana kalau seandainya salah satu program yang ada di sekolah itu kita support sebenarnya Rp2.500.000,- itu bukan ditetapkan harus Rp2.500.000,- tidak. Itu adalah hasil dari diskusi orangtua, sehingga akhirnya bersepakat untuk mengeluarkan uang sebesar itu gitu, itu pun tidak mengikat karena kan kalau sumbangan itu mengikat ya, mengikat dan ada batas waktu dan ada jumlah besarnya kalau ini diusulkan kira-kira segitu,” paparnya.

Ia pun menegaskan, tapi kalau seandainya memang ada yang tidak mampu, ya tidak dipaksakan juga, karena namanya sumbangan, dana sumbangan, partisipasi, jadi berbeda dengan pungutan.

“Dan memang yang menariknya gini ketika beres dari rapat, kan mereka sudah tahu bahwa itu namanya dana sumbangan partisipasi orangtua tapi keluar dari pintu saja, itu tuh bahasanya jadi berbeda lagi ada yang bilangnya pungutan, ada yang namanya iuran kayak gitu. Jadi saya rasa interprestasi si orangtua terhadap kata itu juga saya rasa jadi salah pemahaman,” katanya.

Kemudian disinggung Tim Investigasi terkait wajib membawa Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) bagi siswa yang tidak mampu membayar sumbangan yang dimaksud, Febrianti pun tidak membenarkan.

“Tidak lah buat apa! Rasanya enggak perlu, karena kalau memang berniat menyumbang enggak perlu ada embel-embel apa gitu lah. Tapi saya juga mau klarifikasi satu hal bahwa Rp2.500.000,- itu bukan untuk Dom saja, jadi ada 10 program yang sudah disampaikan dan juga sudah di, kan didalam RKAS itu kan ada kebutuhan yang didanai oleh pemerintah dan juga dari dana partisipasi dari masyarakat dan orang tua itu ada 10 hal, nah 10 hal itu yang kami sharekan ke orang tua bahwa dengan dana sekian barangkali lebih kurang diputus sebenarnya sih lebih dari Rp2.500.000,- sebenarnya kalau aktualnya gitu cuman bersepakat di dua juta setengah itu untuk beberapa aktivitas kita contohnya kayak anak-anak yang berprestasi itu ada kayak apresiasi gitu jadi kayak salam juara gitu, terus juga kalau ada beberapa pertandingan-pertandingan yang enggak semuanya kadang bisa disupport oleh dana BOS, karena posnya tidak ada gitu itu dapatnya dari kita, dari dana sumbangan itu,” pungkasnya.

Dikonfirmasi soal sumbangan Rp2.500.000,- yang diindikasi dapat dicicil. Febrianti kembali menerangkan, karena bentuk sumbangannya tidak mengikat, jadi berapa saja boleh, kapan saja, tapi kalau akhirnya di persepsikan itu menjadi cicilan, saya juga tidak bisa menyalahkan pemilihan kata itu.

“Kalau keberatan ya nggak usah ikut sumbangan, karena sumbangan itu kan tidak mengikat, tidak mengikat dan tidak mempengaruhi pandangan guru-guru, pandang sekolah terhadap orang-orang tua yang tidak ingin ikut berpartisipasi,” imbuhnya.

Kemudian, Febrianti membenarkan, bahwa dalam waktu dekat ini siswa kelas X SMA Negeri 1 Lembang akan melaksanakan study budaya ke Kampung Naga, tepatnya di Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat.

Disindir soal biaya yang harus dikeluarkan oleh siswa untuk mengikuti study budaya tersebut, awalnya Febrianti enggan menyebutkan besar nominalnya, dan sempat menanya balik kepada Tim Investigasi Jurnal Polisi News. Dan pada akhirnya, ia pun mengungkapkan besar nominal tersebut.

“Jumlah biaya itu bukan dipatok dari komite bukan juga dari siapa, kita dapat informasi kan, untuk ke study budaya ini kan kita mencari vendor dulu, karena kan sekarang sama bapak Kepala sekolah kegiatan seperti ini untuk keuangannya kan dikelola oleh komite sampai bisa keluar, jumlahnya Rp425.000,- per siswa, itupun setelah kami dapat konfirmasi dari beberapa calon vendor yang kita panggil, sehingga keluarlah uang segitu, itupun sebenarnya hasil dari diskusi juga dan sama orangtua. Jadi kami undang rapat orangtua untuk menyampaikan, bahwa ada kegiatan namanya study budaya yang dimana implikasi ke sekolahnya adalah untuk pembentukan karakter kayak gitu dan juga pengenalan budaya-budaya yang ada di khususnya di Jawa Barat jumlahnya di informasikan bahwa keuangan yang diperlukan sampai akhirnya diputuskanlah besarannya adalah Rp425. 000,-” jelasnya.

Masih dengan Febrianti memaparkan, adapun uang sebesar Rp425.000,- itu digunakan untuk transportasi.

“Bis, terus tiket-tiket kalau ada beberapa tempat yang kita kunjungi, tapi yang utamanya adalah ke Kampung Naga. Dan satu lagi, dari Rp2.500.000,- itu sudah termasuk di dalamnya adalah biaya untuk ke Kampung Naga itu, jadi bisa dibayangkan, bahwa sebenarnya sumbangan partisipasi itu tidak seperti yang tadi disampaikan gitu,” ucapnya.

Disindir soal pengusulan study budaya tersebut, Febrianti mengaku, bahwa yang mengusulkan kegiatan study budaya itu adalah orangtua termasuk komite, bukan pihak sekolah, dan ia pun membenarkan, bahwa kegiatan study budaya itu TIDAK WAJIB, boleh di ikuti siswa dan boleh tidak.

“Kalau tahun lalu itu jadi program sekolah, kalau sekarang karena kita melihat, bahwa ada kebaikan yang lebih besar dari komite dari orangtua sebenarnya bukan dari Komite saja, dari beberapa orangtua diskusi-diskusi akhirnya kalau seandainya study budaya tetap di langsungkan, tapi tetap bisa mengambil nilai pelajaran dari sekolah itu bisa kita usulkan ke sekolah,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Febrianti menyampaikan, bahwa sumbangan untuk pembangunan Dom sebesar Rp2.500.000,- itu belum semuanya siswa membayar.

“Masih banyak yang belum, dan rata-rata mereka lebih mengutamakan untuk yang ke study budaya dulu,” katanya.

Diakhir konfirmasi, Febrianti kembali mengklarifikasi, bahwa nominal uang sebesar Rp2.500.000,- yang dapat dicicil itu bukanlah Pungli melainkan sumbangan yang telah disepakati bersama para orangtua.

“Saya rasa itu keliru, tidak ada pungutan liar karena yang ada kalau pungutan liar artinya kita ngambil tanpa memaksa orang tua kan mengambil. Kalau ini kan kesepakatan itu berdasarkan hasil rapat dari komite itu dengan orangtua dan besarannya pun juga disepakati dari hasil diskusi dan mufakat dari orangtuanya gitu, jadi saya rasa tidak ada penguatan liar yang dilakukan oleh komite maupun sekolah,” tutupnya.

Selanjutnya, Penjabat (Pj.) Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin diharapkan menjadi tumpuan bagi orangtua murid SMA Negeri 1 Lembang untuk memberikan Perintah kepada Inspektorat Daerah Provinsi Jawa Barat untuk melakukan audit investigatif ke SMA Negeri 1 Lembang sekaligus lebih mengetatkan pengawasan ke sekolah-sekolah menengah atas lainnya untuk meminimalisir berbagai perbuatan melawan hukum, dan sekaligus untuk menghindari terjadinya Tindak Pidana Korupsi di dunia pendidikan yang berdampak pada kerugian negara.

Melalui pemberitaan ini, diharapkan Aparat Penegak Hukum, khususnya Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) Provinsi Jawa Barat segera memanggil pihak SMA Negeri 1 Lembang sekaligus pihak komite sekolah untuk melidik semua kegiatan yang ada di sekolah tersebut, karena diduga adanya pungli dan unsur penyalahgunaan wewenang demi meraup keuntungan pribadi, kelompok maupun golongan.*(DRIV).

RED – TIM INVESTIGASI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *