Mengendus Jejak Bangsa Turki dan Lada Sicupak di Bumi Nurul A’la
Banda Aceh – jurnalpolisi.id
08 Nopember 2023Momentum Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke 8 yang dipusatkan Taman Sulthanah Safiatuddin, Banda Aceh, memiliki nilai khas tersendiri. Hal tersebut sebagaimana terlihat di Anjungan Kabupaten Aceh Timur yang memamerkan sejumlah senjata perang kuno. Salah satunya Meriam Turki atau sering disebut Meriam Lada Sicupak.
Meriam Turki atau sering disebut Meriam Lada Sicupak paling dicari oleh para pengunjung saat ke anjungan Kabupaten Aceh Timur.
Meriam Lada Sicupak menyimpang berjuta kenangan bagi para laskar Aceh saat melawan tentara belanda dan kaum kolonial Portugis pada tahun 700 M, ketika memasuki Aceh melewati lautan Peureulak. Meriam tersebut diberi nama dengan sebutan “Meriam Lada Sicupak” yang dibeli dari Negeri Turki.
Meriam sepanjang lebih kurang dua meter tampak perkasa yang dibawah anjungan Kabupaten Aceh Timur.
Sebelum Meriam Turki tersebut ditemukan oleh seorang penemu yaitu Tgk Muhammad Ben Wahab (almarhum_red), Tepatnya pada hari selasa, Tanggal 12 Desember 1976.
Pada masa Panglima Nyak Dum merupakan panglima yang diutus Sulthan Iskandar Muda untuk menjalin hubungan dengan Turki dan meminta bantuan militer untuk memerangi Portugis.
HM Zainuddin dalam buku Singa Aceh, ia menjelaskan hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki pertama kali dibangun oleh Sulthan Ali Riayat Syah Al Qahar yang memerintah dari Tahun 1557-1568 dengan Sulthan Salim Khan.
Pada masa itu, Sulthan Salim Khan menandatangani perjanjian dengan kerajaan Aceh dan mengirim sekitar 40 orang ahli artileri untuk melatih pasukan meriam dan pasukan berkuda di Aceh.
Perjanjian persahabatan itu kemudian dilanjutkan oleh raja Aceh, selanjutnya Sulthan Alauddin Mansur Syah yang memerintah pada tahun 1577-1588. Masa itu Turki menjamin dan melindungi kerajaan Aceh dari gangguan pihak lain.
Kemudian, ketika tahta turki dipegang oleh Sulthan Mustafa Khan, perjanjian itu dilanjutkan oleh Sulthan Aceh berikutnya, Sulthan Alauddin Riayat Syah Saidil Mukamil yang memerintah pada tahun 1588-1604. Pada masa itu Sulthan Mustafa Khan mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sulthan Aceh, serta mengizinkan kapal-kapal perang kerajaan Aceh memakai bendera Turki.
Kala itu Aceh dipimpin Sulthan Iskandar Muda, hubungan dengan turki agak merenggang karena Iskandar Muda masa itu lebih Fokus membangun dalam negeri setelah kekalahan pendahulunya dalam perang di semenanjung Malaka.
Setelah rakyat di negeri Aceh benar-benar makmur, Sulthan Iskandar Muda membuka kembali hubungan dengan Turki yang selama beberapa tahun sudah agak merenggang.
Pada masa itu Sulthan Iskandar Muda menyiapkan tiga buah kapal untuk berangkat ke Turki. Kapal-kapal itu berisi lada yang akan diserahkan kepada raja Turki sebagai persembahan dari Aceh. Sulthan Iskandar Muda Juga meminta kepada Mufti Kerajaan Syeikh Nurddin Ar Raniry untuk menulis sepucuk Surat dalam Bahasa Arab.
Kemudian surat itu disampul dan dibalut dengan kain sutera sebagai bentuk kemuliaan. Untuk membawa surat itu ditugaskan Panglima Nyak Dum sebagai kepala rombongan.
Dalam rombongan khalifah Panglima Nyak Dum juga disertakan dua juru bahasa yang ditunjuk oleh Syeikh Nurddin Ar Raniry, satu ahli bahasa arab dan satu orang lagi ahli bahasa indi.
Menurut HM Zainuddin, Panglima Nyak Dum merupakan penampilan pencegahan yang kebal terhadap senjata tajam dan peluru. Panglima Nyak Dum juga fasih berbahasa arab, maka ditunjuk sebagai ketua rombongan.
Dalam perjalanan, ketiga kapal utusan Aceh tersebut terbawa badai. Awalnya dari pelabuhan Aceh mereka hendak menuju ke Madras namun terbawa angin ke Kalkuta. Setelah beberapa lama di sana, setelah menunggu angin teduh, mereka berlayar menyusuri pantai Coromondal, sepanjang Teluk Bangla hingga sampai ke Madras.
Setelah beberapa lama di Madras, delegasi Aceh melanjutkan perjalanan ke Ceylon terus ke Teluk Parsi sampai ke Bombay. Dari sana kemudian menyebrang ke laut Sikatra menuju Madagaskar terus ke tanjung harapan Afrika Selatan. Selanjutnya rombongan Panglima Nyak Dum laut Atlantik sampai ke Istambul menuju, Turki.
Perjalanan dari Aceh menuju Turki menghabiskan waktu hingga dua tahun. Bekal dalam perjalanan sudah habis. Lada yang dikirim sebagai persembahan untuk Sulthan Turki juga dijual di Bombay untuk memenuhi kebutuhan selama perjalanan panjang tersebut.
Ketika kapal masuk ke pelabuhan di Konstantinopel, timbul keresahan dari delegasi Aceh itu karena barang persembahan Sulthan Iskandar Muda untuk raja Turki sudah dijual selama perjalanan, yang tersisa hanya sepuluh goni lada.
Panglima Nyak Dum kemudian mengambil secupak lada dari salah satu goni itu dan membungkusnya dalam kain kuning, sebagai isyarat bahwa bingkisan itu dipersembahkan kepada sultan Turki dari sultan Aceh.
Rombongan Panglima Nyak Dum disambut oleh syahbandar dan diantar ke istana. Sampai di sana Panglima Nyak Dum menyerahkan surat dari Sulthan Iskandar Muda beserta bingkisan secupak lada kepada raja Turki.
Ia juga menjelaskan bahwa bingkisan dari Aceh yang dibawanya telah banyak habis dijual untuk bekal selama perjalanan karena kapal mereka terbawa badai pada rute yang salah. Sulthan Turki memaklumi hal itu.
Usai jamuan, Panglima Nyak Dum menceritakan kepada Sulthan Turki tentang tindakan Portugis di Selat Malaka yang telah mengganggu perairan Aceh. Pihak Turki menegaskan bahwa akan terus menjaga hubungan baik dengan Kerajaan Aceh, termasuk membantu Sulthan Aceh dalam menghalau gangguan Portugis di Selat Malaka.
Setelah sekitar tiga bulan utusan Aceh itu berada di Turki, Panglima Nyak Dum dan rombongannya kembali ke Aceh. Sebagai balasan tanda memperkuat persahabatan, Sulthan Turki mengirim sebuah meriam dan alat perang untuk Sulthan Aceh.
Meriam itulah yang kemudian dikenal sebagai meriam “Lada Sicupak”. Dalam rombongan Panglima Nyak Dum juga diikutsertakan sebanyak 12 orang Turki ahli militer dan berlayar untuk mendampingi mereka sampai ke Aceh.
Bantuan Turki itu oleh Muhammad Said dihubungkan dengan kisah meriam lada sicupak. Pemberian Turki berupa meriam dan bendera kepada Kerajaan Aceh merupakan bentuk pengakuan Turki bahwa Kerajaan Aceh berada di bawah perlindungan khalifah Islam.
Bantuan Turki kepada Aceh itu bukan saja sebagai militer belaka, tetapi memiliki arti politik yang menjelaskan tentang kedudukan Aceh dalam kesatuan kekhalifahan Islam.
Sejarah Meriam Lada Sicupak milik Kerajaan Turki bukti sejarah hubungan Kerajaan Aceh-Turki di masa lalu.
Zainal Abidin pjt