ksklusif Bersama H. Chairunnas,Sejarah Lahirnya Palang Merah di Indonesia dan Kota Bukittinggi

BUKITTINGGI — jurnalpolisi.id

mencoba untuk menguliti/memupaskan proses lahirnya organisasi bidang kemanusiaan, yakni sejarah Palang Merah di Indonesia dan kota Bukittinggi.

Kali ini wawancara redaksi bersama dengan ketua Palang Merah Indonesia (PMI) kota Bukittinggi H. Chairunnas, diadakan secara eksklusif di Muaro Food Court jalan St Syahril Tarok Dipo kota Bukittinggi, Selasa (12 September 2023.

PMI di Indonesia  H. Chairunnas menceritakan sejarah, dimulai pada tanggal 21 Oktober 1873. Waktu itu Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan organisasi Palang Merah di Indonesia dengan nama Het Nederland-Indiche Rode Kruis (NIRK) yang kemudian disebut menjadi Nederlands Lode Kruiz Agdelinbg Indie (NERKAI).

Kemudian rentang waktu 1932 hingga 1940, timbul semangat untuk mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) yang kala itu dipelopori oleh dr. LCR. Senduk dan Bahder Johan. Kemudian, usulan pendiriannya diangkat pada kongres NERKAI (1940), namun ditolak.

“Pada saat penjajahan Jepang, usulan itu dikembalikan, namun tetap ditolak,” kata Chairunnas yang juga pemilik Mauro Food Court.

Kemudian lagi, pada 3 September 1945 presiden Sukarno memerintahkan pada Mentri Kesehatan RI dr. Buntaran Martoadmodjo untuk membentuk suatu badan Palang Merah Nasional untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa keberadaan negara Indonesia adalah suatu fakta nyata setelah diproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Tak pelak, pada tanggal 5 September 1945, dr. Buntaran membentuk panitia lima yang terdiri dari dr. R. Mochtar, dr. Bahder Johan, dr. Joehana, Dr. Marjuki dan dr. Sitanala, untuk mempersiapkan pembukaan Palang Merah di Indonesia.

“Hal hasil. Tepat pada tanggal 17 September 1945 terbentuklah Pengurus Besar Palang Merah Indonesia (PMI) dengan ketua pertama nya Dr. Drs. Mohammad Hatta,” ujarnya.

Dr. Drs. H. Mohammad Hatta adalah seorang tokoh perjuangan kemerdekaan indonesia, pahlawan nasional, negarawan dan ekonom Indonesia yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia pertama kala itu.

“Bapak Dr. Drs. Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi – Sumatera Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Ia juga pernah menjabat sebagai Menteri luar negeri Republik Indonesia Serikat (1949 – 1950),” terang Ketua PMI Bukittinggi itu.

Lima tahun berselang, pada tanggal 16 Januari 1950. Kebijakan Pemerintah menyatakan bahwa di dalam satu negara hanya ada satu perhimpunan nasional. Maka Pemerintah Belanda membutuhkan NERKAI diwakili oleh dr. B. Van Trich sedangkan dari PMI diwakili oleh dr. Bahder Johan.

Dan pada tahun 1950 hingga 1963. PMI terus melakukan pemberian bantuan, hingga akhirnya Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) mengeluarkan Keppres no 25 tanggal 16 Januari 1950 dan dikuatkan dengan Keppres no 246 tanggal 29 November 1963. Pemerintah Indonesia mengakui keberadaan PMI secara nasional kala itu.

Adapun tugas utama PMI berdasarkan Keppres RIS no 25 tahun 1950 dan Keppres RI no 246 tahun 1963 adalah untuk memberikan bantuan pertama pada korban bencana alam dan korban perang sesuai dengan isi Konferensi Jenewa 1949.

“Seiring berjalannya waktu, tepat pada tanggal 15 Juni 1950. Secara Internasional, keberadaan PMI diakui oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC),” ujarnya.

Setelah itu, PMI diterima menjadi anggota Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (liga) yang sekarang disebut Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFCR) pada bulan Oktober tahun itu.

PMI di Kota Bukittinggi berdiri pada tanggal 5 Oktober 1977 yang berfungsi untuk kegiatan Unit Donor Darah (UDD), sedangkan untuk kegiatan penanggulangan bencana, PMI kota Bukittinggi telah aktif sejak tahun 1987 pada saat terjadinya tanah longsor di Bukit Tui kota Padang Panjang.

Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan tanggap darurat bencana gempa bumi di Kerinci Provinsi Jambi, gempa bumi di Gunung Rajo di Kabupaten Tanah Datar, Tsunami di Provinsi Aceh, banjir bandang di Malalak Kabupaten Agam, serta penanggulangan bencana lainnya.

“Seiring berjalannya waktu, kegiatan tanggap darurat bencana, PMI kota Bukittinggi semakin lama semakin tidak kelihatan kiprah dan gaungnya, hal ini disebabkan minim dengan pendanaan. Untuk kegiatan Transfusi darah, PMI kota Bukittinggi menempati bangunan masih bentuk lama,” ungkapnya.

Dikatakan, markas PMI kota Bukittinggi yang terletak kini di jalan A. Rifai berdekatan dengan Rumah Sakit Ahmad Muchtar (RSAM), mempunyai bukti otentik sejarah yang tidak dapat dilupakan. Pasalnya bangunan yang dipakai untuk kegiatan Markas dan UDD sekarang adalah bangunan lama, yang diresmikan pada tahun 1977.

Ia menceritakan, Kepala PMI/DTD Syahrial Leman adalah yang pertama dan yang kedua adalah ibu Martalena istri dari Mayor CKM Dr Johanas Johan Abdullah, yang pada periode itu sebagai Komandan Batalion CTP Dan Dankesrem Wirabraja, keduanya telah almarhum, dan almarhum adalah orang tua dari Dr. Firman Abdullah SpOG yang kini masih hidup.

Gedung DTD/PMI kota Bukittinggi sendiri dibangun secara swadaya oleh para Corp Tentara Pelajar pada periode itu dan dikoordinir oleh periode kala itu, Komandan Batalion CTP Mayor CKM Dr. Johanas Johan Abdullah yang pada waktu itu menjabat sebagai Dan Dankesrem Wirabraja.

Gedung itu dibangun dan diberi nama “Syahrial Leman” dengan panggilan populernya (si Ambo) sebagai kenangan atas Komandan Divisi CTP Sumatera Barat, hingga sampai kini Untuk Donor Darah (UDD) PMI Kota Bukittinggi bernama “Syahrial Leman”.

Hingga sekarang Bangunan gedung tersebut terbagi dua, satu sisi digunakan untuk kegiatan UDD dan satu sisi lagi digunakan untuk markas PMI Kota Bukittinggi, tempat berkumpul relawan dan administrasi PMI Kota Bukittinggi.

“Untuk saat ini kegiatan markas bergerak di bidang kebencanaan, pelayanan dan sosial kemanusiaan lainnya, semua itu berjalan tidak terlepas dari dukungan pihak Pemerintah, kearifan serta pengurus, kepala markas serta staf dan sukarelawan,” kata ketua PMI Bukittinggi H. Chairunnas (sekarang/red).

UU Kepalangmerahan telah diundangkan oleh pemerintah. UUK ini menjadi instrumen hukum yang penting bagi Indonesia, terutama dalam melaksanakan kegiatan Kepalangmerahan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun intenasional.

Berdasarkan UU tersebut, yang dimaksud dengan Kepalangmerahan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan, lambang palang merah, atau hal lain yang diatur berdasarkan Konvensi-konvensi Jenewa 1949.

Kepalangmerahan mengatur 3 (tiga) hal penting yaitu; penyelenggaraan Kepalangmerahan, penggunaan Lambang sesuai dengan Konvensi-konvensi Jenewa 1949, dan Perhimpunan Nasional Palang Merah Indonesia.

UU Kepalangmerahan menyatakan bahwa penyelenggara Kepalangmerahan adalah Pemerintah dan PMI. Pengaturan hal tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat, karena mereka akan lebih cepat di dalam menerima bantuan pada saat terjadi bencana/konflik, berdasarkan UU Kepalangmerahan.

Manfaat dimaksud diantaranya; (1) Penyelenggara Kepalangmerahan mempunyai keleluasaan akses dalam semua situasi dan (2) Penyelenggara Kepalangmerahan (khususnya PMI) mempunyai kekuatan hukum yang jelas, sehingga kegiatannya aman dan terlindungi.

Sebagai bagian dari Penyelenggara Kepalangmerahan dan Perhimpunan Nasional Kepalangmerahan di Indonesia, PMI merupakan salah satu anggota dari komponen Gerakan Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. PMI bekerja atas asas perikemanusiaan dan atas dasar sukarela dengan tidak membeda-bedakan bangsa, golongan, dan paham politik.

UU Kepalangmerahan juga menegaskan bahwa, meskipun PMI merupakan perhimpunan nasional yang diakui resmi oleh Pemerintah yang menyelenggarakan kegiatan kemanusiaan, organisasi-organisasi kemanusiaan lainnya tetap dapat menyelenggarakan kegiatan kemanusiaan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. (Syafrianto)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *