Kekerasan Guru Terhadap Murid Di SD Negeri Bongkoa desa Sambet Berakhir Damai
NTT, jurnalpolisi.id
Kekerasan fisik terhadap anak semakin mengkhawatirkan, sebab tindak kekerasan juga terjadi di sekolah, yang merupakan lembaga pendidikan di mana orang tua mempercayakan anak-anak mereka untuk mendapat pendidikan.
Tindak kekerasan tersebut dapat dilakukan oleh guru dan kerap dianggap sebagai bagian dari pendidikan ataupun pembentukan perilaku.
Kekerasan di sekolah telah banyak diberitakan di media massa.
Seperti halnya berita terkini yaitu kasus dugaan kekerasan guru terhadap murid di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Nusa Tenggara Timur. Yang melibatkan seorang guru SD Negeri Bongkoa, di desa Sambet, Kecamatan Toianas pada saat apel masuk sekolah tanggal 15 Oktober 2022.
Kejadian itu dilaporkan ke polisi setempat. Penyebabnya adalah siswa (Kristo Banunu) dilaporkan sesama siswa bahwa ia ada menyebut nama lagu ‘Bento’ di luar sekolah/dirumahnya, sehingga membuat sang guru marah dan memberikan sanksi kepada siswa tersebut dengan cara
ditempeleng sebanyak 2 kali dan di fiti mulutnya dengan menggunakan 2 buah karet tangan di bagian bibir mulut sampai bengkak.
Peristiwa tersebut terjadi disaat siswa sedang mengikuti apel masuk sekolah. Sebenarnya, maksud guru itu baik, yakni hendak membina siswa didik agar disiplin dan beretika. Hanya saja, cara-cara kekerasan fisik seperti yang dilakukan kepada siswa di SD Negeri Bongkoa Sambet tersebut tidak dibenarkan di era saat ini.
Namun, tidak bisa juga menyalahkan para orang tua siswa yang melaporkan kasus ini ke polisi, karena mereka tentu juga telah memahami pola penerapan pendidikan yang benar dan mereka juga memahami mendidik dengan cara-cara kekerasan merupakan bentuk tindakan terlarang.
Padahal inti dari pemberian hukuman yang sifatnya mendidik adalah agar timbul kesadaran siswa terhadap perilakunya yang salah dan berkomitmen tidak mengulangi kesalahan tersebut.
Untuk mendamaikan kedua belah pihak secara kekeluargaan, ada dua poin kesepakatan damai saat mediasi dilakukan yang dihadiri oleh perwakilan orang tua siswa yang menjadi korban dan oknum guru SD Negeri Bongkoa Sambet. Pertama, Dinas Pendidikan Kabupaten Timor Tengah Selatan diminta membuat kebijakan yang berupaya mencegah agar kasus serupa tidak terulang lagi.
Kedua, perwakilan orang tua korban kekerasan itu meminta agar pihak Sekolah dalam hal ini SD Negeri Bongkoa Sambet, Kecamatan Toianas menjamin kepada korban kekerasan agar tidak diperlakukan secara diskriminatif di sekolah, sehingga mereka bisa tenang belajar.
Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) diminta untuk mendorong penghapusan kekerasan anak di lingkungan sekolah melalui penerapan disiplin positif. Karena selama ini guru dan orang tua meyakini bahwa penggunaan hukuman baik fisik maupun psikis efektif dalam membentuk perilaku anak atau siswa menjadi disiplin, padahal sebaliknya, anak bisa saja meniru kekerasan tersebut. Dinas PPPA khusus Dinas PPPA Kabupaten Timor Tengah Selatan pun diminta ikut mendorong agar para guru tidak lagi menggunakan hukuman dengan kekerasan sebagai metode pendisiplinan pada siswa. Karena lingkungan sekolah harus menjadi tempat yang nyaman bagi siswa-siswi agar dapat mendorong perkembangan belajar anak dan membekali mereka dengan wawasan dan pengetahuan serta keterampilan secara optimal.
Berbagai peraturan tentang tindak kekerasan terhadap anak, seperti dalam UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 Pasal 54 menyatakan bahwa “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”.
Upaya pencegahan kekerasan dalam dunia pendidikan (di sekolah) memang tidak semudah menangkap dan memberi hukuman bagi pelaku kekerasan namun perlu adanya tindakan pencegahan bagi semua pihak yang bersinggungan dengan permasalahan tersebut.
Kepada pihak yang terkait, baik guru, orang tua siswa, komite sekolah perlu memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi atau aksi yang tepat, namun akan semakin menambah masalah. Yang terpenting, semua pihak perlu bekerjasama untuk menyelesaikan masalah ini.
Siswa yang menjadi korban pemukulan tersebut mencabut laporan dan memilih menyelesaikan permasalahannya dengan cara kekeluargaan. Hal ini juga dibenarkan oleh Kapolsek Amanatun Utara, IPTU Djemi Soleman.
“Ya [proses hukumnya berhenti], kemarin (24/10) sore dari pihak korban sudah datang untuk mencabut laporannya dengan membawa serta surat pernyataan damai dari kedua belah pihak,” terang IPTU Djemi saat dikonfirmasi jurnalpolisi.id, Selasa (25/10).
Djemi menjelaskan jika pada Senin (24/10) kemarin ada pertemuan antara korban dan pihak sekolah. Dari situ, ada kesepakatan damai antara keduanya.
“Jadi kemarin siang, mereka ternyata ada pertemuan dari pihak keluarga korban dengan pihak sekolah. Kemudian setelah itu ditindaklanjuti dengan sorenya ke Polsek.
Pengajuan perdamaian ini dihadiri oleh oknum guru ET, orangtua dan keluarga korban. Dan pula, disaksikan rekan-rekan media yang turut hadir.
Akhir kata, mari kita sepakati untuk selalu mendidik dan membimbing siswa dengan mengedepankan nurani, bukan mengedepankan emosi. Sebab, kekerasan fisik berbeda dengan hukuman fisik yang diperbolehkan dalam konteks mendidik namun tetap harus disepakati bersama oleh guru dan siswa serta diinformasikan juga kepada orang tua siswa.
(RoyS)