Memilih Ketua MA di Era Transisi Kepemimpinan Nasional

Oleh: Dr. TM. Luthfi Yazid, SH, LLM.

Jakarta – jurnalpolisi.id

“Fiat justitia ruat caelum, yang berarti Hendaklah keadilan ditegakkan, walaupun langit akan runtuh”. Pernyataan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus pada 43 SM, atau 2067 tahun lalu itu, sampai kini masih relevan. Bahkan masih menjadi cita-cita umat manusia di seluruh dunia.

Bagaimana dengan Indonesia, negeri yang didirikan di atas fondasi hukum? Tampaknya masih jauh dari kalimat axiomatis Lucius yang diucapkan 21 abad lalu tersebut.

Besok, Selasa/Rabu (15/16 Oktober 2024) akan dilangsungkan pemilihan Ketua Mahkamah Agung (KMA) yang baru, menggantikan KMA Prof. Dr. Muhammad Syarifuddin, S.H., M. H. yang segera purna tugas pada tanggal 17 Oktober 2024. Di momen peralihan kepemimpinan nasional ini, eksistensi MA yang taat hukum, taat etika dan moral hukum menjadi sangat krusial untuk menjadi landasan perjalanan bangsa ke depan. Jangan ada lagi orkestrasi perselingkuhan hukum yang melibatkan MA dan Istana seperti terjadi belum lama ini.

Betul, peristiwa pemilihan KMA dilaksanakan secara rutin tiap lima tahun. Namun harus digarisbawahi dan diingat bahwa pemilihan KMA adalah sebuah momentum penting bagi bangsa dan negeri ini. Apalagi pemilihan KMA kali ini terjadi hanya lima hari menjelang pergantian presiden dari Joko Widodo ke Prabowo Subianto.

Kedewasaan demokrasi harus ditunjukkan oleh MA yang menjadi referensi penegakan hukum. Dalam demokrasi, netralitas MA sebagai kekuasaan yudikatif, mutlak harus benar-benar netral, suci, dijaga dan dipastikan terbebas sepenuhnya dari segala bentuk intervensi eksekutif. Jika tidak, meminjam istilah Imam Ali bin Abi Thalib, negeri akan runtuh.

Beberapa nama disebut layak mencalonkan diri menjadi nahkoda Ketua MA dalam lima tahun ke depan. Mereka adalah Wakil Ketua MA Bidang Yustisial Dr. Sunarto, S.H., M.H; Wakil Ketua MA Non-Yustisial Suharto, S.H., M.Hum; Hakim Agung Dr. Yulius, S.H., M.H; Hakim Agung Prof. Dr. Haswandi, S.H., S.E., M.Hum, M.M.; dan Ketua Kamar Pidana Dr. Prim Haryadi, S.H., MH.

Ketua MA dan Wakil Ketua MA dipilih dari dan oleh Hakim Agung (Pasal 1 Keputusan KMA Nomor 007/KMA/SK/I/2009 tentang Peraturan Tata Tertib Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia) yang dilakukan oleh satu Panitia Pemilihan. Jumlah Hakim Agung saat ini sekitar 46 – 50 orang sudah termasuk para pimpinan MA.

Dalam kondisi “transisi politik” yang penuh dengan intervensi eksekutif sejak 2023, pemilihan Ketua MA menjadi krusial untuk mengembalikan marwah keseimbangan kekuasaan dalam sistem peradilan. Seleksi Ketua MA harus mengedepankan check and balance. Ini penting untuk mewujudkan negara hukum serta terciptanya kepastian hukum yang adil (Pasal 28D ayat 1 UUD 1945), dan dalam Pasal 24 (1) UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang bebas dan merdeka.

Hakim dalam menjalankan kekuasaan kehakimannya, harus bebas dari intervensi apa pun, kecuali oleh nurani dan akalnya sendiri, sehingga mampu menegakkan hukum dan keadilan.

Kedudukan hakjm yang strategis dalam mewujudkan negara hukum menjadikan negara wajib menjamin kesejahteraan dan keaman mereka, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 (1) UU No. 8 Tahun 2009 tentang Kehakiman. KMA yang baru harus didukung penuh oleh semua institusi penegak hukum agar MA benar-benar menjadi tumpuan para pencari keadilan.

Ketum DePA-RI mengatakan, KMA yang baru harus didukung oleh seluruh institusi penegak hukum agar MA benar-benar menjadi tumpuan para pencari keadilan (justice seeker). Para hakim harus memiliki integritas, bersih dan anti gratifikasi anti korupsi.

Bagaimana pun hakim memiliki kekuasaan yang menentukan, sehingga tanpa didukung oleh masyarakat dan terutama negara dari segi kesejahteraan dan keamanan, maka bukan tidak mungkin banyak hakim yang akan tergoda untuk tidak bersikap mandiri serta independen dalam mewujudkan free and impartial tribunals.

Namun, stagnasi dalam indeks negara hukum (Rule of Law Index) di Indonesia sejak 2023 mencerminkan tantangan serius, diantaranya korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran etik institusi hukum, dan legislasi tanpa partisipasi dan transparansi publik. Oleh sebab itu, saya berharap agar MA dapat dipimpin oleh Ketua MA dengan (harapan) kriteria seperti berikut:

Pertama, memiliki integritas yang baik, dibuktikan dengan rekam jejak yang tidak bermasalah secara hukum.

Kedua, memiliki kapabilitas dan leadership sebagai Ketua MA.

Ketiga, memiliki kemampuan berpikir hukum yang baik karena KMA bertanggungjawab untuk melakukan koreksi atas semua putusan ditingkat judex factie.

Keempat, dapat menjadi teladan (role model) alias menjadi contoh dan panutan bagi para hakim lainnya di seluruh Indonesia, baik secara profesi maupun moral.

Kelima, mengayomi seluruh insan peradilan di seluruh Indonesia dan dapat menjamin bahwa setiap lembaga peradilan di seluruh Indonesia adalah tempat menambatkan harapan keadilan.

Keenam, profesional dan independen dalam menjalankan tugasnya serta dapat membangun keadaan yang menjadikan mereka yang papa, lemah atau less in power tidak ciut hatinya ketika mencari keadilan di lembaga peradilan.

Ketujuh, seorang Ketua MA harus punya wisdom (kearifan yang tinggi) dan karenanya ia harus sudah selesai dengan dirinya, dan apa yang dia tinggalkan kelak akan menjadi legacy.

Pada prinsipnya seorang hakim itu tidak punya kepentingan apapun kecuali membuat putusan yang berkualitas dan berpihak pada kebenaran dan keadilan (the truth and justice).

Rakyat Indonesia berharap pemilihan pimpinan MA berlangsung demokratis, damai, dan sesuai dengan nurani Hakim Agung yang memilih, “demi tegaknya keadilan bagi semua”, “Justitia Omnibus”.

Penulis adalah Ketua Umum Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *