Penunjukan Batas Tanah PT Satu Stop Sukses, Rizky Syahputra SH Kuasa Hukum PT. SSS Tegaskan Kebenaran Kasus Pemblokiran 14 Ha Tanah
Tangerang – jurnalpolisi.id
Kuasa Hukum PT Satu Stop Sukses (PT SSS), Rhizki Syahputra, SH., menyampaikan perkembangan penting terkait penunjukan batas tanah kavling B36 dan B37 di Karawaci, Tangerang. Kegiatan ini berlangsung pada 17 September 2024, sebagai tindak lanjut atas surat undangan dari Direktur Tindak Pidana Umum Kasubdit II Mabes Polri, setelah adanya sengketa pemblokiran tanah yang telah berlangsung selama 29 tahun.
Rhizki Syahputra, yang mewakili Direktur PT SSS, Kismet Chandra, bersama beberapa anggota tim kuasa hukumnya, menyatakan bahwa PT SSS telah mengajukan surat resmi sejak 28 Juli 2023 yang ditujukan kepada Presiden, Kapolri, serta sejumlah pejabat tinggi negara. Isi dari surat tersebut adalah permohonan penyelesaian sengketa pemblokiran lahan seluas 14 hektare yang telah berlangsung sejak 1993 oleh PT Bina Sarana Mekar (PT BSM) dan Paguyuban Bina Mitra.
“Pemblokiran ini telah menyebabkan tanah tersebut terlepas dari wilayah NKRI,” ujar Rhizki. Saat komperensi pers. Jum’at, (20/9/2024).
Menurutnya, surat tersebut mendapat tanggapan serius dari Kapolri, yang kemudian mendisposisikan kasus ini kepada penyidik Unit I Subdit II Dittipidum Bareskrim Polri. Proses penyidikan dimulai dengan klarifikasi dari berbagai pihak, termasuk saksi-saksi seperti Kismet Chandra, Parta Chandra, Tirta Chandra, dan perwakilan dari Ditjen Perkebunan.
Asal Mula Sengketa
Rhizki Syahputra menjelaskan bahwa sengketa bermula pada tahun 1993 ketika PT Bina Sarana Mekar, bersama sejumlah staf Ditjen Perkebunan, memindahkan lapangan sepak bola dari lahan mereka ke dalam area Proyek Perkavlingan Ditjen Perkebunan di Karawaci, Tangerang. Hal ini dilakukan atas permintaan beberapa RT dan RW setempat yang mengajukan surat kepada PT BSM untuk memindahkan lapangan tersebut. PT BSM menyetujui permintaan ini, namun dengan catatan bahwa tanah yang akan digunakan adalah tanah kavling Ditjen Perkebunan.
Tanpa diketahui apakah izin tertulis dari Ditjen Perkebunan benar-benar ada, lapangan sepak bola tersebut akhirnya dipindahkan, mencakup kavling milik PT BSM, PT SSS, dan warga sekitar. Sejak saat itu, 1 blok tanah seluas 14 hektare, yang terdiri dari 162 kavling tanah dan tanah fasos fasum milik negara, terblokir secara tidak sah.
Gangguan Saat Penunjukan Batas
Pada 17 September 2024, proses penunjukan batas tanah kavling B36 dan B37 oleh tim PT SSS bersama penyidik Mabes Polri sempat menghadapi hambatan. Diduga Yayan Permana, Ketua Paguyuban Bina Mitra, berupaya menggagalkan kegiatan tersebut. Namun, tindakan ini berhasil diatasi oleh penyidik yang tetap melanjutkan proses penunjukan batas tanah.
Patut diduga Yayan Permana mengklaim bahwa ia memiliki kuasa untuk mengamankan tanah seluas 14 hektare tersebut berdasarkan beberapa dokumen, termasuk keputusan BPN RI tahun 1991 dan keputusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa seluruh sertifikat di area tersebut cacat hukum. Ia juga mengklaim bahwa seluruh penggarap tanah tersebut telah memulai aktivitas sejak tahun 1985 dan memiliki Surat Keterangan Garap dari Lurah Bencongan.
Namun, Kismet Chandra, Direktur Utama PT SSS, membantah klaim-klaim tersebut melalui Kuasa Hukum nya.
“Keputusan BPN RI tahun 1991 yang disebutkan oleh Yayan adalah untuk tanah di Kelurahan Karawaci Baru, bukan untuk tanah di Proyek Perkavlingan Ditjen Perkebunan di Desa Bencongan. Ini salah alamat,” tegas Rizky Syahputra SH.
Lebih lanjut, Kismet melalui kuasa hukumnya menjelaskan bahwa keputusan Mahkamah Agung hanya membatalkan 6 sertifikat yang terbukti menggunakan dokumen palsu, bukan seluruh 162 kavling di area tersebut. Selain itu, Surat Keterangan Garap yang digunakan oleh penggarap juga telah dinyatakan palsu oleh Pengadilan Negeri Tangerang, dan Lurah Bencongan yang menerbitkannya telah dijatuhi hukuman penjara selama 1,5 tahun.
Penyelesaian Kasus Pemblokiran
Rhizki Syahputra menambahkan bahwa setelah pemblokiran oleh PT BSM selesai diproses, penyidik berencana melanjutkan penyelesaian kasus pemblokiran yang dilakukan oleh Paguyuban Bina Mitra. Tujuannya adalah untuk mengembalikan lahan seluas 14 hektare tersebut ke dalam pengelolaan yang sah di bawah kedaulatan Republik Indonesia.
“Penyelesaian ini menjadi penting karena selama hampir tiga dekade tanah ini seolah terlepas dari pengelolaan negara,” tegas Rhizki.
Ia berharap proses hukum ini dapat segera rampung agar para pemilik kavling dan masyarakat sekitar bisa mendapatkan kepastian hukum atas tanah mereka.
Kasus ini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk pemerintah pusat dan aparat penegak hukum, karena mencerminkan pentingnya penegakan hukum dalam sengketa agraria di Indonesia.
(Ismail Marjuki JPN)