Kematian Orangutan dan Harimau Bukti Gagalnya Konservasi di Wilayah BBKSDA Wilayah III Padangsidimpuan
Padangsidimpuan, jurnalpolisi.id
Matinya satwa dilindungi di wilayah Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel) terus menjadi sorotan publik. Terbaru, kematian seekor anak Orangutan Tapanuli di kawasan proyek PLTA PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) pada Agustus 2024 serta harimau sumatra yang ditemukan mati terjerat di Mandailing Natal pada September 2024, memicu reaksi keras dari aktivis lingkungan. Ini mencerminkan betapa lemahnya pengawasan dan perlindungan oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Wilayah III Padangsidimpuan.
Ketika ditemui di warung kopi oleh wartawan Jurnal Polisi News, Eri Lintang, aktivis lingkungan sekaligus pentolan Komunitas Pencinta Alam (KPA) MATA ALAM, mengungkapkan kekecewaannya yang mendalam atas kematian satwa-satwa yang dilindungi tersebut. “Ini bukan hanya tentang kehilangan satu atau dua satwa, tapi tentang kehancuran ekosistem dan lemahnya tanggung jawab pihak berwenang,” tegasnya.
Eri mengutuk keras pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab atas kematian Orangutan Tapanuli dan harimau sumatra ini. Baginya, kematian satwa langka tersebut adalah luka yang menyayat hati para pecinta alam. “Sebagai pecinta alam, berita seperti ini adalah mimpi buruk. Dahulu, kami berjuang keras melalui KPA MATA ALAM untuk melindungi satwa liar di Tabagsel, namun pergerakan kami kerap dimanfaatkan oleh oknum untuk kepentingan pribadi,” lanjutnya.
Kematian anak Orangutan Tapanuli di proyek PLTA NSHE menjadi simbol kegagalan serius dalam perlindungan satwa langka di Batangtoru, satu-satunya habitat mereka. BBKSDA Sumut, sebagai otoritas yang bertanggung jawab, diduga lebih banyak terjebak dalam formalitas dan acara seremonial tanpa ada tindakan konkret di lapangan. Akibatnya, proyek energi terbarukan yang seharusnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian lingkungan, justru mempercepat hilangnya habitat alami bagi satwa-satwa ini.
Tak berhenti di situ, kematian seekor harimau sumatra yang ditemukan mati terjerat di Desa Hutarimbaru, Mandailing Natal, pada September 2024, kembali menegaskan betapa lemahnya regulasi dan penegakan hukum terkait perlindungan satwa di daerah tersebut. Harimau anakan itu diduga terjebak di jerat yang dipasang untuk menangkap binatang liar seperti babi hutan. Pihak BKSDA Mandailing Natal, yang bertanggung jawab atas evakuasi bangkai harimau tersebut, masih belum dapat memastikan penyebab kematiannya dan sedang melakukan penyelidikan lebih.
Kasus-kasus ini mengungkapkan minimnya transparansi dan akuntabilitas dari BBKSDA Wilayah III Padangsidimpuan dalam mengelola kawasan konservasi. Kematian Orangutan Tapanuli dan harimau sumatra bukanlah kejadian pertama, namun merupakan bagian dari tren yang mengkhawatirkan. Satwa-satwa yang seharusnya dilindungi terus menjadi korban di wilayah yang seharusnya menjadi perlindungan terakhir mereka.
Harus ada tindakan lebih serius dari pihak berwenang, terutama dalam memperkuat regulasi dan pengawasan di lapangan. Tidak cukup hanya dengan deklarasi atau formalitas konservasi, harus ada tindakan nyata untuk menghentikan perburuan liar dan perusakan habitat satwa.
Harapan besar datang dari para aktivis lingkungan agar BBKSDA Wilayah III Padangsidimpuan segera bertindak dengan lebih tegas dan transparan dalam menangani masalah ini. Proyek-proyek pembangunan seperti PLTA NSHE perlu dikaji ulang secara menyeluruh, dengan mempertimbangkan dampak ekologis yang dihadapi satwa-satwa langka. Masyarakat juga harus dilibatkan secara aktif dalam upaya pelestarian, agar kesadaran lingkungan tumbuh dan berkembang.
Ke depannya, diharapkan ada perubahan nyata dalam cara pengelolaan konservasi di wilayah Tabagsel. Jika tidak, kejadian-kejadian tragis seperti ini hanya akan terus berulang, mengancam populasi satwa langka yang semakin berkurang. Perlindungan satwa bukan hanya soal regulasi, tapi soal tanggung jawab moral kita sebagai penjaga ekosistem yang rapuh ini. (P.Harahap)