Dugaan Penggelembungan Suara: Tudingan Kolusi antar Caleg Nasdem, KPU, dan Bawaslu Kota Tangerang Menyasar Petugas PPK ke Ranah Hukum
Kota Tangerang – jurnalpolisi.id
Ketentuan Penting dalam UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 Mengenai Tindakan Pidana atas Pelanggaran Suara Pemilih.
Dugaan terhadap penggelembungan suara antara calon legislatif (Caleg) dari Partai Nasdem menimbulkan keraguan yang signifikan terhadap potensi keterlibatan lembaga penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), di Kota Tangerang.
Hal ini menggugah pertanyaan serius tentang integritas dan transparansi proses pemilu di wilayah tersebut.
Tudingan ini saat ini membawa potensi kompleksitas hukum yang signifikan, dengan petugas Panitia Pemungutan Kelurahan (PPK) menjadi fokus utama perhatian.
Hal ini mengindikasikan kemungkinan terjadinya implikasi hukum yang serius yang dapat mempengaruhi jalannya proses pemilihan umum di tingkat lokal.
Dalam konteks ini, keterlibatan semua pihak di tengah proses demokrasi menjadi subjek perdebatan yang mendalam, menciptakan ketidakpastian politik dan hukum yang signifikan.
Ketegangan memuncak di Daerah Pemilihan (Dapil) 2 Kota Tangerang menjelang Pemilihan Legislatif 2024, dengan dugaan serius terhadap kecurangan pemilu dan penggelembungan suara yang diduga menguntungkan caleg lain.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran akan integritas proses demokrasi di wilayah tersebut, menyoroti kebutuhan mendesak akan transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam penyelenggaraan pemilu.
Konflik suara yang memunculkan sengketa terjadi di antara calon legislatif (caleg) dari Partai Nasdem, yang bersaing untuk merebut kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Tangerang untuk periode 2024-2029.
Hal ini mencerminkan dinamika politik yang tegang dan persaingan yang sengit di tingkat lokal dalam pemilu legislatif terbaru.
Laporan terkait dugaan kecurangan dalam pemilihan umum telah diajukan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Tangerang.
Diduga, upaya penggelembungan suara ini disinyalir dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang berpotensi merugikan calon legislatif (caleg) DPRD Kota Tangerang dari Daerah Pemilihan (Dapil) 2, yang bernama Nawawi.
Hal ini memperumit dinamika politik di tingkat lokal dan menyoroti pentingnya keberlanjutan proses demokratisasi yang jujur dan transparan.
Pernyataan mengenai hal ini disampaikan oleh kuasa pelapor Nawawi, yang bernama Oji Bahroji, saat melakukan wawancara telepon dengan media pada hari Senin, tanggal 11 Maret 2024.
Oji Bahroji mengungkapkan informasi terkait dugaan kecurangan pemilu kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Tangerang, menyoroti seriusnya isu ini dalam konteks proses demokratisasi yang berlangsung di wilayah tersebut.
Oji Bahroji menyatakan bahwa sebagai akibat dari dugaan penggelembungan suara tersebut, kliennya yang merupakan calon legislatif (caleg) dari Partai Nasdem dengan nomor urut 4, Nawawi, mengalami kerugian yang signifikan.
Sementara itu, Oji Bahroji juga menyampaikan bahwa calon dari Partai Nasdem dengan nomor urut 1, yang bernama Holiludin, tampaknya mendapat keuntungan dari situasi tersebut.
Hal ini mencerminkan ketidakadilan dalam proses pemilihan umum dan menimbulkan pertanyaan serius terkait integritas pemilu di wilayah tersebut.
“Yang melaporkan Caleg dari Partai Nasdem nomor urut 4, yang dilaporkan penyelenggara pemilu. Indikasinya nomor satu yang diuntungkan. Yang lapor atas Nawawi, yang diuntungkan atas nama Holil,” ucap Oji selalu kuasa hukum.
Menurut Oji, munculnya dugaan kecurangan pemilu itu bermula ketika dari tim saksi caleg, termasuk Nawawi sendiri ikut menjadi menyaksikan penghitungan suara di tingkat PPK.
“Dari C1 Pleno direkap. Saksi yang masuk kan dari partai. Setelah keluar DA1 ternyata hasil rekapan C 1 pleno beda suaranya. Ini terjadi pada 29 Februari malam,” ucap Oji.
Esoknya, lanjut Oji, pada 1 Maret 2024, Nawawi minta hasil DA1 dari PPK.
“Begitu dicek di C1 kok beda. Langsung kami temui Bawaslu, artinya kita kasih tau kenapa bisa berbeda,” ungkapnya.
Kemudian, lanjut Oji, Bawaslu menjawab laporan itu dengan pernyataan; mungkin karena kesalahan administrasi.
“Suara itu tertuju ke nomor satu (Holil) larinya, kan aneh,” ujarnya.
Oji menduga kejadian ini karena ada “pesanan”.
“Cara berfikir sederhana saja, ada kepentingan apa sih PPK memberikan suara ke nomor satu, kalau tidak ada “pesanan atau perintah”,” katanya.
“Untungnya apa dia? Karena ada ancaman pidana kan gitu,” tambah Oji.
Oji Bahroji menegaskan “Pentingnya ketentuan dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal 532 yang secara substansial menyatakan bahwa setiap individu yang dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan suara dari seorang pemilih menjadi tidak bernilai, atau dengan cara memberikan tambahan suara kepada peserta pemilu atau mengurangi perolehan suara pemilu, dapat dikenai pidana penjara dengan maksimum hingga empat tahun”.
Pernyataan ini menyoroti seriusnya konsekuensi hukum bagi pelanggaran dalam proses pemilihan umum, dan menekankan pentingnya penegakan hukum untuk menjaga integritas pemilu dan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Oji menambahkan bahwa kejadian ini menunjukkan adanya pelanggaran undang-undang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal ini menciptakan keraguan terhadap kredibilitas dan integritas KPU dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga penyelenggara pemilihan umum.
Pernyataan tersebut menyoroti perlunya penyelidikan mendalam terhadap praktek-praktek yang merugikan dalam proses pemilu dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
“Jadi kalau orang Bawaslu bilang, nanti temuan kita suaranya akan dikembalikan. Pidana kan bukan begitu. Bawaslu jangan masuk angin. Bawaslu ini kan harusnya melakukan pengawasan, ketika ada laporan, harusnya ditindak. Bukannya diem, (suara) digembosin,” ucapnya.
Oji menegaskan bahwa ketua Bawaslu pun sudah membenarkan adanya penggelembungan suara itu.
Oji mengungkapkan kekecewaannya terhadap tindakan Bawaslu yang tidak menindaklanjuti dugaan kecurangan pemilu melalui proses Gakkum, meskipun telah ada bukti konkret, saksi-saksi, dan dasar hukum yang kuat.
Dalam pernyataannya, Oji menegaskan bahwa “Bawaslu diduga terlibat dalam praktek kolusi dengan KPU, yang menyiratkan adanya kesepakatan atau permainan antara kedua lembaga tersebut, tudingan ini menyoroti ketidakpercayaan terhadap independensi dan integritas Bawaslu dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pengawas pemilu yang netral dan adil, hal ini mengundang pertanyaan serius tentang transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan umum di tingkat lokal” ucap Oji.
Ketika dihubungi melalui aplikasi pesan WhatsApp untuk mengkonfirmasi terkait tudingan dan dugaan kecurangan terkait penggelembungan suara, baik Ketua KPU Kota Tangerang, Qori Ayatullah, maupun Ketua Bawaslu Kota Tangerang, Komarrulloh, tidak memberikan respons.
Sikap ketidakterbukaan ini menimbulkan kekhawatiran lebih lanjut terhadap transparansi dan akuntabilitas lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas integritas dan keabsahan proses pemilihan umum di Kota Tangerang.
Keputusan untuk tidak merespon pertanyaan yang diajukan menimbulkan kebutuhan akan klarifikasi yang lebih mendalam dan tindakan yang jelas dari pihak berwenang untuk menangani dugaan pelanggaran dalam proses pemilu.
(Ismail Marjuki JPN)