Apotek Kiwi Di Lembang KBB Diduga Kangkangi UU Ketenagakerjaan Sekaligus UU Cipta Kerja Dan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS
BANDUNG BARAT, jurnalpolisi.id
Setiap akhir tahunnya seluruh Kepala Daerah telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) di masing-masing wilayahnya. Aturan tersebut juga tak lepas di wilayah Pemerintahan Kabupaten Bandung Barat (KBB) Provinsi Jawa Barat.
Upah minimum tersebut menjadi acuan bagi para pengusaha untuk memberi gaji terhadap karyawannya.
Adapun pekerja yang sudah bekerja selama lebih dari satu tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 92 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pekerja itu berhak mendapat gaji di atas upah minimum yang telah ditetapkan.
Meskipun aturan itu telah dibuat Pemerintah semaksimal mungkin, ditambah lagi pada proses pembuatan Undang-Undang tersebut sebelumnya juga banyak perubahan, mirisnya masih saja ada salah satu perusahaan di Lembang, KBB yang diduga kuat membayar gaji karyawannya dibawah UMP.
Menurut informasi yang diterima Tim Investigasi Jurnal Polisi News dari narasumber yang identitasnya tak ingin diketahui menyampaikan, bahwa Apotek Kiwi yang berlokasi di Jalan Kayu Ambon No. 44, RT 01 RW 12, Desa Lembang, Kecamatan Lembang, KBB diduga mempekerjakan orang dengan membayar gaji dibawah UMP bahkan UMK (Upah Minimum Kabupaten/ Kota) sekalipun.
Kemudian, berdasarkan data yang diterima dari narasumber yang sama menjelaskan, Apotek tersebut juga terindikasi tega memotong upah (hak) karyawannya jika telat masuk kerja (tanpa pemberitahuan). Dengan rincian sebagai berikut:
a. Kurang dari 10 menit upah di potong Rp10 ribu.
b. 11 – 30 menit upah di potong Rp25 ribu.
c. 10 menit – 1 Jam upah di potong Rp50 ribu.
Selain itu, jika ada karyawan Apotek Kiwi yang tak masuk kerja karena sakit, tanpa ada surat keterangan dokter, upah (hak) karyawan tersebut harus dipotong sebesar Rp100 ribu, dan mengganti waktu kerja 8 jam. Itu juga berlaku bagi karyawan yang alfa atau izin .
Namun, bagi karyawan yang sakit dengan membawa surat keterangan dari dokter, karyawan tersebut tak perlu mengganti waktu kerja 8 jam, tapi tetap berlaku adanya potongan upah sebesar Rp100 ribu.
Adapun peraturan kerja yang ditegaskan oleh Apotek Kiwi kepada karyawannya, berdasarkan data yang diterima, antara lain:
Salah makai seragam; upah di potong Rp25 ribu
Display barang kosong sementara stok nya ada; upah di potong Rp50 ribu
Tidak menulis barang habis; upah di potong Rp10 ribu
Etalase kotor; upah di potong Rp25 ribu
Barang kelewat ED; upah di potong Rp50 ribu
Salah satu area Apotek terpantau kotor; upah di potong Rp25 ribu
Faktur pemindahan barang ada yang belum selesai; upah di potong Rp50 ribu
Membuat kegaduhan; upah di potong Rp50 ribu
Melakukan hal-hal yang “Membuat” pertanyaan; upah di potong Rp25 ribu
Tidak membaca pengumuman di group (wajib menanggapi jika hal tersebut untuk seluruh staf); upah di potong Rp25 ribu
Telat atau tidak mengumpulkan laporan bulanan; upah di potong Rp25 ribu
Melupakan hal-hal yang biasa dikerjakan; upah di potong Rp100 ribu
Salah cek barang turun dari gudang; upah di potong Rp25 ribu
Salah menghitung saat Stock of name; upah di potong Rp50 ribu
Menolak barang padahal barangnya ada; upah di potong Rp100 ribu
Menyembunyikan kebenaran; upah di potong Rp50 ribu
Mirisnya lagi, karyawan Apotek Kiwi yang berjumlah kurang lebih sebanyak 40 orang belum semuanya didaftarkan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
“Yang sudah lama bekerja (tahunan) setahu saya ada teman saya yang cerita, bahkan dia tidak mempunyai BPJS Ketenagakerjaan, disitu saya mencari tahu, karena kalau perusahaan setahu saya enam bulan atau satu tahun setahu saya harus mempunyai BPJS Ketenagakerjaan. Dan tahun ini (2024) mulai di acc BPJS Ketenagakerjaan tidak semuanya langsung di acc punya BPJS Ketenagakerjaan, karena owner nya langsung bilang, kalau saya bisa, saya acc BPJS Ketenagakerjaan per tahun dua orang atau tiga orang, karena si owner nya bilang takutnya ketahuan sama Dinas,” beber narasumber, Minggu (3/3/2024).
Yang lebih parahnya lagi, jika pun ada karyawan yang mengajukan resign (berhenti) bekerja di Apotek Kiwi, karyawan tersebut harus menunggu penggantinya bekerja selama dua bulan. Bilamana aturan tersebut di langgar, karyawan yang mengajukan berhenti bekerja di denda sebesar Rp1,5 juta.
Sementara, Owner Apotek Kiwi yang diketahui bernama Yuli tak berkenan di konfirmasi oleh Tim Investigasi Jurnal Polisi News, pada Senin (4/3/2024).
Padahal Tim Investigasi Jurnal Polisi News sudah memperkenalkan diri dengan memperlihatkan Surat Tugas Liputan dan Kartu Tanda Anggota (KTA). Namun sangat disesalkan, upaya konfirmasi tersebut tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya, Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) KBB bersama Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengawasan Ketenagakerjaan Wilayah IV Disnakertrans Provinsi Jawa Barat diharapkan menjadi tumpuan bagi para karyawan yang bekerja di Apotek Kiwi untuk melakukan pemeriksaan audit investigatif ke perusahaan tersebut.
Dan melalui pemberitaan ini, aparat penegak hukum diharapkan turun tangan untuk segera memanggil Owner Apotek Kiwi yang diduga kangkangi Undang-Undang Ketenagakerjaan Sekaligus Undang-Undang Cipta Kerja Dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS.
Perlu diketahui, pelanggaran pembayaran upah di bawah upah minimum dapat masuk dalam kategori pidana kejahatan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 90 ayat 1.
Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) Jo Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, perusahaan yang membayar upah di bawah minimum dikenakan pidana selama dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.
“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan,” bunyi ayat (2) pada Pasal 185.
Tak hanya itu, mengacu pada Pasal 88E Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
“Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (21) berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan yang bersangkutan,” bunyi Pasal 88E ayat (1).
Dilansir dari Kompas.com, Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemennaker) Dinar Titus mengatakan, perusahaan yang memberi gaji karyawannya di bawah UMP atau UMK yang ditetapkan bisa dikenai sanksi.
Sanksi tersebut berupa hukuman penjara hingga denda ratusan juta rupiah.
“Sanksi pidana 1-4 tahun atau denda dari Rp100 juta hingga Rp400 juta,” tuturnya, Rabu (22/11/2023).
Apabila ada perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut, pekerja dapat melaporkannya ke Kemenaker atau Dinas Ketenagakerjaan di daerah masing-masing. Selain itu, pekerja bisa membawa data-data sebagai bukti untuk melengkapi pengaduan mengenai upah minimum.
Dan perlu diingatkan juga, setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerja atau buruh menjadi peserta BPJS Kesehatan maupun Ketenagakerjaan, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program Jaminan Sosial,” bunyi Pasal 14.
Kemudian, pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 menegaskan, pemberi kerja yang tidak melaksanakan ketentuan akan dikenai sanksi administratif berupa; Teguran tertulis, Denda, Tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
Selanjutnya, merujuk pada pembayaran iuran dalam Undang-Undang tersebut. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1), Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS. Begitu pun pada ayat (2) menegaskan, Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.
Apabila ketentuan tersebut dilanggar, mengacu pada Bab XV (15) Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011.
Pasal 55 menyebutkan, Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
REDAKSI
TIM INVESTIGASI