UU PDP Hadir untuk Melindungi Martabat Warga Negara
Maret 27, 2023
JAKARTA, jurnalpolisi.id
21/3/2023 Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) pada Selasa (21/3/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Dua permohonan perkara pengujian UU PDP digabung pemeriksaannya dalam persidangan ini, yaitu perkara Nomor 108/PUU-XX/2022 dan perkara Nomor 110/PUU-XX/2022. Permohonan perkara Nomor 108/PUU-XX/2022 diajukan oleh Leonard Siahaan. Sedangkan permohonan perkara Nomor 110/PUU-XX/2022 diajukan oleh Dian Leonaro Benny.
Agenda persidangan keenam ini adalah mendengarkan keterangan Ahli Presiden/Pemerintah. Dua ahli dihadirkan pemerintah yaitu Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga Henri Subiakto, dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Ahmad M. Ramli.
Henri Subiakto dalam keterangannya di persidangan menyebutkan perkembangan teknologi komunikasi telah mengubah kehidupan sosial secara signifikan sehingga muncul fenomena “sociomateriality”. Artinya manusia dan teknologi tidak dapat dipisahkan karena digunakan untuk segala aktivitas. Sehingga secara teknis, penggunaan internet melahirkan social, economical, dan political connectivity. Dalam konteks keterhubungan ini, sambung Henri, persoalan satu wilayah bisa saja kemudian menjadi persoalan bagi suatu negara lainnya. Padahal sebelumnya aktivitas sosial, ekonomi, politik di dunia tersebut hanya terjadi secara fisik, namun saat ini aktivitas pun terjadi pada dunia siber.
Seiring dengan hal tersebut, Henri melihat bahwa setiap aktivitas di dunia digital selalu terkait dengan data pribadi, mulai dari aktivitas mengunduh aplikasi, membuka tautan, berbelanja, berkomunikasi hingga aktivitas sehari-hari sehingga data-data tersebut menjadi data yang terkumpul dan diproses secara digital oleh perusahaan-perusahaan platform digital.
“Atas pemanfaatan data pribadi tersebut dibutuhkan tata kelola yang baik dan akuntabel, sehingga dibutuhkan regulasi untuk memastikan perlindungan terhadap data pribadi secara memadai sekaligus mengawasi pengendali dan pemroses data pribadi. Regulasi itu sangat penting mengingat di era digital, data tersebut dibutuhkan untuk menguasai data konsumen, pola perilaku masyarakat, dan komunikasi mereka, kemudian jutaan bahkan ratusan juta warga negara yang dikuasai menjadi Big Data yang mengubah wajah kapitalisme di era digital,” jelas Henri.
Melindungi Martabat Warga Negara
Selanjutnya terkait dengan keberadaan UU PDP, Henri melihat norma ini memberikan landasan hukum bagi Indonesia untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara, serta perlindungan terhadap data pribadi milik warga negara. Pada norma tersebut terdapat subjek data atau pemilik data pribadi, pengendali data, dan pemroses data pribadi dengan hak dan kewajiban masing-masing.
“Tanpa adanya undang-undang ini, sama saja negara membiarkan warga negaranya tak hanya diawasi, tapi juga dieksploitasi data-data pribadinya untuk kepentingan bisnis, politik, bahkan objek kejahatan dari para pelaku yang memanfaatkan data-data pribadi warga negara. Oleh karenanya, kehadiran UU PDP ini untuk melindungi diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat seluruh warga negara sebagaimana termuat dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945” urai Henri.
Ranah Privasi Tetap Dilindungi
Sehubungan dengan pengecualian sebagaimana pada bagian frasa “kegiatan pribadi” atau “kegiatan rumah tangga” dalam Pasal 2 ayat (2) UU PDP, Henri melihat hal demikian lebih karena ruang lingkup kegiatan pribadi dan rumah tangga merupakan ranah privat yang tetap dilindungi negara. Kendati ada pengecualian, namun keberadaannya tetap dilindungi oleh UU PDP dan UU lainnya. Lagi-lagi, kata Henri, frasa tersebut memiliki esensi yang merujuk pada ranah privat, nonkomersial dan pengecualian ini berkenaan dengan pengaturan perlindngan hak asasi manusia khususnya hak privasi.
“Pasal ini bertujuan untuk tidak membebani perseorangan dari aktivitas pribadinya. Tanpa pasal ini warga negara justru akan direpotkan oleh ancaman sanksi dan data pribadinya tidak akan terlindungi,” jelas Hendri di depan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Saldi Isra bersama dengan hakim konstitusi lainnya.
Mengawal dan Memacu Transformasi Digital
Pada kesempatan yang sama Ahmad M. Ramli dalam keterangannya menyebutkan kehadiran UU PDP penting dan strategis untuk mengawal dan memacu transformasi Indonesia memasuki Industri 5.0. Mengingat data yang ada sudah menjelma sebagai the new oil di era transformasi digital yang begitu masif.
Produk legislasi dalam UU PDP ini, jelas Ahmad, telah mengatur pelindungan data pribadi dalam satu norma secara terintegrasi, komprehensif, dan sistematik. Adanya pengecualian orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga yang terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UU PDP tidak bermaksud memberikan beban berlebih kepada Subjek Data Pribadi saat yang bersangkutan dikualifikasikan dan berstatus sebagai Pengendali Data.
“Dengan demikian pasal ini sangat diperlukan eksistensinya karena berbicara tentang kekecualian fungsi pengendali dan pemrosesan data pribadi dan bukan tentang perlindungan subjek data pribadi pada umumnya. Sehingga kekecualian yang dimuat pada pasal tersebut, terkait pemrosesan data dengan fungsi pengendali data pribadi dan prosesor data pribadi yang dilakukan oleh koorporasi atau badan publik,” sampai Ahmad.
Menurut Ahmad, jika setiap orang harus berperan sebagai Pengendali Data atau Prosesor data Pribadi layaknya korporasi atau badan publik, padahal tidak melibatkan kegiatan komersial dan, konsekuensinya adalah setiap individu dalam kegiatan rumah tangga tersebut wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai Pengendali Data Pribadi dan melakukan kewajiban sebagaimana dimuat dalam Bab VI Pasal 20 sampai dengan pasal 50 UU PDP.
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 108/PUU-XX/2022 diajukan oleh Leonard Siahaan. Sedangkan permohonan Nomor 110/PUU-XX/2022 diajukan oleh Dian Leonaro Benny.
Pemohon Nomor 108/PUU-XX/2022, Leonard Siahaan mengujikan Pasal 1 ayat (4), Pasal 2 ayat (2), dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Pasal 1 ayat (4) UU PDP berbunyi, “Pengendali Data Pribadi adalah setiap orang, badan publik, dan organisasi internasional yang bertindak sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam menentukan tujuan dan melakukan kendali pemrosesan Data Pribadi.” Pasal 2 ayat (2) UU PDP berbunyi, “Undang-Undang ini tidak berlaku untuk pemrosesan Data Pribadi oleh orang perseorangan dalam kegiatan pribadi atau rumah tangga.” Pasal 19 UU PDP berbunyi, ”Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi meliputi: a. Setiap Orang; b. Badan Publik; dan c. Organisasi Internasional.”
Leonard berpandangan UU PDP belum memberikan payung hukum bagi pengguna data pribadi khususnya bagi pelaku bisnis e-commerce berskala rumah tangga. Sebab dalam pelaksanaan usaha ini rentan akan kebocoran data utamanya saat transaksi finansial yang dapat saja dilakukan oleh peretas dengan melakukan cybercrime economy atas insiden kebocoran data.
Pemanfaatan teknologi informasi mengakibatkan data pribadi seseorang mudah untuk dikumpulkan dan dipindahkan dari satu pihak ke pihak lain tanpa sepengetahuan subjek data pribadi sehingga hal ini mengancam hak konstitusional subjek data pribadi. Selain itu, perlindungan data pribadi tergolong pada perlindungan HAM. Dengan demikian pengaturan mengenai data pribadi menjadi manifestasi pengakuan dan perlindungan atas hak dasar manusia. Oleh karena itu, UU PDP tidak menjawab perlindungan terhadap hak subjek data pribadi.
Sementara Pemohon Nomor 110/PUU-XX/2022, Dian Leonaro Benny menguji
Pasal 15 ayat (1) huruf a UU PDP yang berbunyi, “Hak-hak Subjek Data Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan untuk: a. kepentingan pertahanan dan keamanan nasional”.
Pasal 15 ayat (1) huruf a UU PDP menurut Dian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Dian berpandangan, perlindungan data diperlakukan sebagai bagian dari perlindungan privasi sebagai individu. Privasi berkaitan dengan hak yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada hak lain. Namun, hak tersebut akan hilang apabila seseorang mempublikasikan hal-hal yang bersifat pribadi pada masyarakat umum.
Dalam pelanggaran privasi terdapat kerugian yang sulit untuk dinilai. Kerugian yang dialami dapat mengganggu kehidupan pribadi sehingga pihak korban wajib mendapatkan kompensasi atas kerugian yang diderita tersebut.
Ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU PDP tidak secara terang menjelaskan secara pasti dan akurat mengenai yang dimaksud dengan ‘kepentingan pertahanan dan keamanan nasional’. Sehingga menurut Dian, pasal tersebut berpotensi menjadi pasal yang multitafsir dan bermasalah di kemudian hari dan digunakan sebagai justifikasi untuk mengecualikan hak-hak subjek data pribadi.