Praktisi Hukum Fidusia Dukung Aksi Polda Metro Jaya Brantas Preman Dept Collektor

Jakarta  –  jurnalpolisi.id

Praktisi hukum Wagiyo SH MH mendukung pernyataan Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Hengki Haryadi yang mengatakan bahwa tidak ada lagi hak eksekutorial bagi debt collector apabila tidak ada kesepakatan antara debitur dan kreditur, dan debitur menolak menyerahkan kendaraannya. Karena hal tersebut harus melalui penetapan pengadilan, dengan kata lain tidak boleh diambil paksa.

“Ya, saya melihat dan mencermati peristiwa viral terkait eksekusi mobil yang terjadi di berbagai media beberapa hari ini yang berujung dipolisikan oleh pemiliknya. Dan apa yang dilakukan Polda Metro Jaya itu benar, dan kita dukung pernyataan Dirkrimum Polda Metro Jaya itu,” kata Praktisi hukum yang sudah tiga puluh tahun lebih menangani masalah kredit macet di berbagai Perusahaan Leasing ini.

Wagiyo, yang saat ini juga masih bekerja di perusahaan leasing sebagai Litigasi Manager di PT SGMW Multifinance Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Wuling Finance dan sebagai Managing Partners di Kantor Hukum WAGIYO & PARTNERS dikawasan Jakarta Selatan menjelaskan bahwa semua pihak harus bisa melihat permasalahan yang ada dengan jernih sehingga tidak menimbulkan presepsi yang tidak benar di masyarakat. “Dan tentunya dengan kejadian ini kita bisa melihat dan belajar sehingga tidak terjadi peristiwa yang sama dikemudian hari,” Katanya.

Menurut Wagiyo, penjelasan Direskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Hengki Haryadi yang mengatakan bahwa tidak ada lagi hak eksekutorial bagi debt collector apabila tidak ada kesepakatan antara debitur dan kreditur, dan debitur menolak menyerahkan kendaraannya. Oleh karenanya hal tersebut harus melalui penetapan pengadilan, dengan kata lain tidak boleh diambil paksa, itu benar.

“Benar apa yang dikatakan Hengki sepanjang tidak ada kesepakatan atau diserahkan secara sukarela, selaras dengan Putusan MK No. 18/2019, yang secara umum dapat dipahami bahwa dalam kondisi tertentu titel eksekutorial tidaklah dapat dilaksanakan secara serta merta kecuali telah dimintakan penetapan eksekusi kepada pengadilan,” katanya.

“Jadi kalau pemberi fiducia tidak mau menyerahkan secara suka rela maka penerima fiducia atau kuasanya tidak boleh mengambil atau melakukan eksekusi secara paksa karena hal ini bisa berujung dipolisikan, dan menjadi pidana lain,” lanjutnya.

Wagiyo melanjutkan walaupun sudah ada penetapan pengadilan sesuai dengan ketentuan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 terkadang tetap masih ada persoalan dan kendala dalam hal eksekusinya, persoalan atau kendala dimaksud biasanya tidak ada Objek Jaminan Fiducia atau Pemberi Fiducianya saat pelaksaan eksekusi oleh Juru sita dilaksanakan.

“Walaupun pada saat prosess Anmaning Pemberi fidusia sempat hadir namun kenyataanya pada saat pelaksanaan eksekusi terkadang menghindar,” ujarnya.

Jika hal ini terjadi kata Wagiyo, proses hukum berikutnya harus dilakukan oleh pihak Leasing melaporkan Pemberi Fiducia ke Polisi dengan dugaan melakukan penggelapan Objek jaminan fiducia hal ini dilakukan jika pemberi fiducia tidak mau menyerahkan Objek Jaminan Fiducianya.

“Hal ini dilakukan untuk menghindari permasalahan hukum baru, walaupun dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama,”

Wagiyo memaparkan bahwa permasalahan eksekusi jaminan fidusia sebenarnya tidak akan terjadi jika para pihak menyadari dan taat pada isi perjanjian kredit. Masalah muncul biasanya karena ada pihak yang tidak fair dan tidak menghargai isi perjanjian kredit yang telah dibuatnya.

“Debitur biasanya menggunakan alasan untuk bisa mengulur waktu agar tetap bisa menggunakan jaminan fidusia dan bahkan ada juga pihak debitur yang nakal pada saat penerima fidusia akan mengambil objek jaminannya karena debitur wanprestasi ternyata objek jaminan dimaksud sudah tidak ada ditempat debitur,” ujarnya.

Padahal, lanjut dia, pada pasal 30 Undang Undang No 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fiducia, menyebutkan “Pemberi fiducia wajib menyerahkan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia,” katanya.

Jika hal tersebut diatas terjadi maka, jelas Wagiyo, Putusan Pengadilan dibutuhkan untuk melakukan eksekusi jaminan fiducia karena tidak ada alternatif pilihan lain jika pemberi fiducia tidak mau menyerakhan barang jaminnya secara suka rela.

Untuk itu ujar Wagiyo, sebagai praktisi hukum yang sudah lama menangani masalah kredit macet di berbagai Perusahaan Leasing dan Finance mengingatkan agar para pihak baik debitur maupun kreditur untuk fair dan saling menghormati isi perjanjian yang telah dibuatnya.

“Jika debitur mulai menunggak atau wanprestasi maka kewajiban kreditur segera mengingatkan agar debitur menyadari dan tahu bahwa dirinya sdh wanprestrasi (menunggak), dan debitur segera mentaati isi perjanjian,” ujar pria beruban ini.

Wagiyo merinci bahwa pengajuan Sita Eksekusi Objek Jaminan Fiducia adalah proses hukum yang sederhana, cepat dan berbiaya murah.

Dia menyampaikan saat ini sedang mengajukan permohonnan Sita Eksekusi Objek Jamina Fiducia atas 2 (dua) unit mobil Wuling yang sudah wanprestassi lebih dari 1 tahun di Pengadilan Negeri Tegal dan Pengadilan Negeri Brebes. “Sesuai prosedur saya mendaftarkan pengajuan sita eksekusi atas jaminan fidusia terhadap debitur atas nama JDP yang berdomisili di Tegal dan debitur atas nama K yang berdomisili di Kabupaten Brebes.” katanya.

“Sebelum menempuh jalur hukum dengan mengajukan sita eksekusi ke Pengadilan, kami telah menempuh beberapa cara persuasive agar JDP dan K selaku debitur segera melakukan pembayaran atau mengembalikan kendaraan yang dijadikan jaminan kreditnya,” katanya, namun JDP dan K sebagai debitur tidak kooperatif dan tidak lagi membayar cicilan angsurannya. “Maka kami selaku kreditur selanjutkan mengajukan proses hukum ke PN Tegal dan PN Brebes,” ujarnya.

“Saya yakin jika proses hukum yang sangat sederhana ini dilakukan oleh semua Leasing atau Lembaga Pembiayaan di Indonesia maka polemik dan kontroversi eksekusi jaminan fidusia di masyarakat tidak akan terjadi,” jelasnya.

Wagiyo menyebutkan polemik dan kontroversi eksekusi jaminan fidusia ini terjadi karena ada rasa frustasian pihak leasing dalam mencari upaya menyelesaikan masalah kredit macet kepada para debiturnya.

Wagiyo menyatakan pihak leasing sudah menempuh berbagai cara baik persuasive maupun cara lainnya untuk mencoba menarik barang jaminannya namun tidak berhasil, coba melaporkan debitur ke Polisi untuk debitur yang telah mengalihkan barang jamiannya namun prosesnya dibutuhkan waktu lama.

“Dan biaya yang tidak sedikit dengan hasil yang belum ada kepastian, ditambah lagi kredit macet di masa pandemi terus bertambah, sementara perusahaan leasing juga dituntut dengan performance yang baik untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya,” Katanya.

“Beberapa hal inilah yang memicu rasa frustasi sehingga tidak sedikit Leasing yang melakukan jalan pintas dengan tetap melalukan eksekusi langsung tanpa melalui pengadilan dengan menggunakan pihak ketiga atau Debt Kollektor yang pada akhirnya menjadi polemik di masyarakat saat ini,” kata Wagiyo. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *