KHANDURI APAM: TRADISI MAKAN KUE SERABI PADA BULAN RA’JAB DI ACEH
Sigli – JurnalPolisi.id
“BULEUEN APAM” adalah salah satu dari nama-nama bulan dalam “Almanak Aceh”, yang setara dengan bulan Ra’jab dalam kalender Hijriah.
“Buleuen” artinya bulan, sedangkan “Apam” berupa sejenis makanan yang mirip serabi.
Kenapa disebut buleuen apam?
Karena, memang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh, bahwa bila buleuen apam tiba mereka mengadakan “khanduri apam”/kenduri serabi.
Dulu, tradisi ini paling populer di kabupaten Pidie. Mungkin karena itu pula, sangat terkenal bagi orang di luar kabupaten itu sebutan ”Apam Pidie”.
Selain di Pidie, di Aceh Utara, Aceh Besar dan beberapa kabupaten lain juga dikenal tradisi ini, walaupun dengan tatacara yang berbeda.
Kegiatan tot apam (memasak Apam) dilakukan oleh kaum ibu di desa.
Kadang-kadang sendirian, tetapi lebih sering secara berkelompok antara beberapa orang ibu rumah tangga.
Pekerjaan pertama dari usaha ini top tupong breueh bit (menumbuk tepung dari beras nasi).
Tepung ini tak perlu dijemur, tapi langsung dicampur santan kelapa dalam sebuah beulangong raya (periuk besar).
Campuran ini direndam paling kurang tiga jam, agar apam yang dimasak nanti menjadi lembut. Adonan yang sudah sempurna ini kemudian diaduk kembali sehingga menjadi cair.
Cairan tepung inilah yang diambil dengan aweuek/irus untuk dituangkan ke wadah memasaknya, yakni neuleuek berupa cuprok tanoh (menyerupai piring yang terbuat dari tanah liat).
Dulu, apam tidak dimasak dengan kompor atau kayu bakar, tetapi dengan on ‘ue tho (daun kelapa kering) dan malah orang-orang percaya bahwa Apam tidak boleh dimasak selain dengan on ‘ue tho ini.
Masakan apam yang dianggap baik, yaitu bila permukaannya berlobang-lobang seperti pada jajanan martabak bangka /Prancis, sedangkan bagian belakangnya tidak hitam dan rata (tidak bopeng).
Apam yang bopeng sering disebut diklok le burong (dicubit Kuntilanak).
Apam paling sedap bila dimakan dengan kuahnya, yang berupa masakan santan dicampur pisang klat barat (sejenis pisang raja) atau nangka masak serta gula yg biasa disebut “Kuah Tuhe”.Bagi yang elergi kuah tuhe mungkin karena luwihnya (gurih), kue Apam dapat pula dimakan bersama kukuran kelapa yang dicampur gula. Bahkan apam bisa juga dimakan langsung tanpa ada kuah atau tambahan apapun seperti makan kue pada umumnya (seungeu apam), yang dulu di Aceh Besar disebut “apam beb”.
Selain dimakan langsung, dapat juga apam itu direndam beberapa lama ke dalam kuahnya sebelum dimakan.
Cara demikian; orang menyebutnya “apam teuth’op”. Disini Apam baru dimakan setelah semua kuahnya habis meresap ke kue Apam dan barulah kemudian dimakan.
Apam teuth’op itu sedapnya bukan main. Pokoknya mangat that-that, sebut Endang salah satu warga yang dijumpai awak JPN.Begitulah, apam yang telah dimasak bersama lauknya siap dihidangkan kepada para tamu yang sengaja dipanggil/diundang ke rumah.
Dan tidak hanya tamu undangan,siapapun yang lewat/melintas di depan rumah, pasti sempat menikmati hidangan ”khanduri apam” ini.
Bila mencukupi, kenduri apam juga diantar ke meunasah (sebutan surau di Aceh) serta kepada para keluarga yang tinggal di kampung lain.Begitulah, acara tot apam diadakan dari rumah ke rumah atau dari kampung ke kampung lainnya selama buleuen Apam (bulan Ra’jab) sebulan penuh.
Asal-usulnya:
Menurut penuturan orang-orang tua, asal mula dari tradisi khanduri apam ini adalah berasal dari seorang sufi yang amat miskin di Tanah Suci Mekkah.
Si miskin yang bernama Abdullah Ra’jab adalah seorang zahid yang sangat ta’at pada agama Islam.Berhubung amat miskin, ketika ia meninggal tidak satu biji kurma pun yang dapat disedekahkan orang sebagai kenduri selamatan atas kematiannya.
Keadaan yang menghibakan/menyedihkan hati itu, ditambah lagi dengan sejarah hidupnya yang sebatangkara, telah menimbulkan rasa kasihan masyarakat sekampungnya untuk mengadakan sedikit kenduri selamatan di rumah masing-masing.
Makanya mereka memasak apam untuk disedekahkan kepada orang lain.
Itulah sekelumit kisah tradisi tot Apam (memasak Apam); yang sampai sekarang masih dilaksanakan masyarakat Aceh, walaupun tidak semeriah tempo dulu.
Apakah tragedi Abdullah Ra’jab benar-benar pernah terjadi, hingga kini belum pernah diketahui secara pasti.
Wallahu’alam.Selain pada buleuen Apam (bulan Ra’jab), dulu kenduri apam juga diadakan pada hari kematian.
Ketika si mayat telah selesai dikebumikan, semua orang yang hadir dikuburan disuguhi dengan kenduri Apam. Apam di perkuburan ini tidak diberi kuahnya. Hanya dimakan dengan kukuran kelapa yang diberi gula (dilhok ngon u).
Tempo dulu, khanduri apam juga diadakan di kuburan setelah terjadi gempa hebat– seperti gempa tsunami, Ahad, 26 Desember 2004 misalnya.
Tujuannya, sebagai upacara tepung tawar (peusijuek) kembali bagi famili mereka yang telah meninggal.
Sebagai rasa ikut berduka cita atas keadaan itu,juga sebagai wadah cara memohon rahmat bagi si Mayit.Sehubungan dengan kenduri apam, dulu juga populer istilah “Apam lam peuluman”.
Peuluman adalah bejana tempat cuci tangan bagi orang yang mau makan tempo dulu.
Istilah apam lam peuluman, dikiaskan kepada orang yang berwatak pendiam atau tenang-tenang, tapi menghanyutkan.
Berbahaya…..
(D2M)