Novel “Kaki Tupon lan Nini Rikem” Berbahasa “Panginyongan” Diterbitkan

Banyumas – jurnalpolisi.id

Dalam rangka melestarikan bahasa daerah supaya tidak punah, Sumiyati (44) warga Gerduren Purwojati menulis Novel dengan menggunakan bahasa panginyongan atau bahasa banyumasan yang juga dikenal dengan bahasa ngapak. Ia yang menggunakan nama pena Umi Asmarani menulis novel berjudul “Kaki Tupon lan Nini Rikem”

“Tujuan saya menulis novel berbahasa banyumas adalah untuk melestarikan bahasa daerah supaya jangan sampai hilang dan punah,” kata Sumiyati saat menerbitkan novel di Gubug Carablaka di Desa Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas beberapa waktu lalu.

Sebelum menulis novel ini, Sumiyati yang juga pernah menulis novel “Istri Suamiku” dan “Bukan Menantu Idaman” di aplikasi Noveltoon. Menurutnya cerita tentang “Kaki Tupon lan Nini Rikem” atau dalam bahasa Indonesia berarti Kakek Tupon dan Nenek Rikem telah ditayangkan juga secara daring lewat media sosial Facebook dan para pembaca yang minta untuk dibukukan.

“Novel ini mengisahkan kehidupan keluarga penderes kelapa yang bisa menyekolahkan keempat anaknya hingga perguruan tinggi,” kata Sumiyati.

Menurut Sumiyati, kisah yang diramu dalam novel terbitan Satria Publisher tersebut merupakan kumpulan memori dari masa kecilnya periode 1980-an di mana dirinya lahir dari seorang bapak yang adalah penderes kelapa dan ibunya seorang pembuat gula merah.

“Ini baru jilid satu, nanti akan ada jilid-jilid berikutnya,” ujarnya.

Lewat novel setebal 202 halaman itu, Sumiyati tak hanya menggambarkan penderitaan dari keluarga miskin di perdesaan, tapi juga ingin menyampaikan betapa keras perjuangan orangtua agar dapat menyekolahkan anaknya hingga menjadi orang sukses.

“Rintangan apapun bisa dilewati sampai nanti anak-anak mereka jadi orang sukses,” tuturnya.

Budayawan Banyumas Ahmad Tohari mengapresiasi terbitnya novel berbahasa panginyongan itu lantaran bahasa daerah kini terancam punah dan perlu terus dilestarikan.

“Bahasa daerah adalah puncak dari kebudayaan daerah. Puncak kebudayaan daerah itu bukan lengger, bukan ebeg (kuda lumping), tapi bahasa itu sendiri yang menjadi utama. Kesenian tradisional seperti lengger dan ebeg itu ada parikan (puisi rakyat) menggunakan bahasa banyumas,” papar Tohari yang juga penulis novel “Ronggeng Dukuh Paruk”.

Menurut Tohari, untuk memajukan suatu bangsa, dibutuhkan gerakan literasi yang masif. Lewat membaca dan menulis, seseorang dituntut untuk kreatif sekaligus peka terhadap kearifan juga kegelisahan yang ada di sekitarnya.

Selain itu, lewat membaca dan menulis, menurut Tohari yang mengutip peribahasa Latin “Scritpo ergo sum” atau aku menulis, maka aku ada, seseorang tidak akan lenyap ditelan zaman.

( Arif JPN )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *