Politik Identitas dan Demokrasi Kita
Desember 31, 2022
Oleh: Astrid Kamala Dewi
Jakarta – jurnalpolisi.id
Indonesia merupakan sebuah Negara dengan kepulauan terluas di dunia dengan memiliki ribuan pulau yang di dalamnya terdiri berbagai suku, budaya, Bahasa, agama dan golongan. Keberagaman yang ada di Indonesia merupakan suatu hal yang niscaya dan tidak bisa dihilangkan. Kemajemukan tersebut merupakan anugrah Tuhan untuk bangsa ini saling mengenal, memahami, antar satu dengan yang lainnya sehingga menjadi suatu modal dan entitas kekuatan yang kuat dalam membangun bangsa ini kedepan. Bhineka Tunggal Ika sebagai semoboyan menjadi alat pemersatu bangsa yang begitu kuat dalam mempererat dan memperkokoh persatuan bangsa Indonesia.
Namun seiring berjalannya waktu, persatuan bangsa Indonesia seringkali terancam ketika menghadapi momentum politik. Kemajemukan yang dimiliki bangsa ini, sering dijadikan alat politik untuk memecah anak bangsa dan meraih suara. Politik identitas berbasis SARA (Suku, agama, ras, dan antar golongan) menjadi jembatan dalam mejalankan propaganda politik. Slogan seperti orang Jawa pilih orang Jawa atau dilarang memilih pemimpin di luar agama tertentu sering kali dilontarkan. Hal ini bisa dilihat dalam momentum politik Jakarta, tepatnya pada Pilkada Jakarta tahun 2018-2022, yang saat itu diikuti oleh dua paslon, Anis -Sandi dan Ahok-Djarot.
Juhana Nasrudin dalam jurnalnya tentang Politik Identitas dan Representasi Politik (Studi Kasus pada Pilkada DKI Periode 2018-2022), bahwa banyaknya etnis keturunan Cina atau Arab di Jakarta, primordialisme menjadi kekuatan politik dalam meraih suara. Ahok sebagai keturunan Cina akan berupaya mendapatkan kekuatan politik dari penduduk Jakarta keturunan Cina, dan begitupun Anis akan berupayah mendapatkan suara dari mayoritas masyarakat Jakarta keturunan Arab. Jakarta yang merupakan pusat perdagangan dan perekonomian bagi kaum imigran, sebagian besar wilayahnya ditempati oleh keturunan Cina, Arab, dan India. Keturunan Cina menempati wilayah mulai dari Kelapa Gading, Sunter, Keramat Luar Batang, dan Pluit di Jakarta Utara dan Glodok, serta Jakarta kota dan di Jakarta Barat. Sedangkan keturunan Arab berada di wilayah Condet, Jakarta Timur.
Tak bisa dipungkiri politik identitas sangat terlihat di Jakarta saat itu. Hal ini bisa dilihat pada fenomena yang terjadi menjelang Pilkada Jakarta yang menjerat Ahok yang disusul dengan demontrasi besar-besaran yang dilakukan oleh umat Islam yang dikenal dengan aksi damai 212 karena telah merendahkan surah Al-Maidah ayat 51.
Secara teoritis politik identitas menurut Cressida Heyes adalah tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepengtingan dari anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnis, gender atau keagamaan.
Politik Identitas dijadikan alat dalam mempertegas kukuatan politik sekaligus juga digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan dan menjatuhkan lawan politik tertentu. Politik Identitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara membuat dominasi gelombang besar untuk sebuah kepentingan kelompok tertentu dalam menyingkirkan kelompok lawan atau kelompok minoritas. Politik identitas yang terlihat di masyarakat kita, bermuatan identitas, agama, etnis, dan ideologi politik tertentu.
Sejatinya politik identitas merusak dan memecah belah anak bangsa, bahkan bisa mengancam disintegritas negara ini. Tak hanya itu, politik identitas berbasis sara sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang kita pegang.
Demokrasi sejatinya menghendaki adanya kesederajatan atau kesetaraan di antara setiap induvidu, tanpa mengistimewakan pada satu golongan atau kelompok tertentu berdasarkan primordialisme. Tidak ada suatupun suku bangsa atau pemeluk agama tertentu yang superior terhadap suatu kelompok. Di Indonesia sendiri demokrasi dibangun dengan Bhineka Tunggal Ika yang mampu menyatukan segala elemen bangsa. Maka dari itu, demokrasi semestinya berjalan tanpa ada embel-embel politik identitas. Karena untuk mencapai demokrasi yang ideal tanpa ada diskriminasi antar golongan, memilih pemimpin yang berkualitas tanpa adanya primordialisme merupakan pondasi dalam mewujudkan demokrasi yang baik dan sehat.
Tak ada gading yang tak retak, begitu pun dalam tulisan ini yang masih jauh dari harapan pembaca, namun diharapkan tulisan ini setidaknya mampu menambah cakrawala pengetahuan, khususnya tentang politik identitas di Indonesia.