Beratnya mewujudkan Bank Nagari Syariah di Negri ABS SBK.
Oleh: Suharman
Wakil Ketua DPRD Kab Agam
Agam Sumbar – jurnalpolisi.id
Santer terdengar berita 9 kepala daerah Kab/kota di Sumatera Barat menolak konversi Bank Nagari menjadi Bank Nagari Syariah. Padahal baru saja masyarakat minang sumatera barat mendapat pengakuan dari pemerintah pusat dengan disyahkannya Undang Undang tentang Provinsi Sumatera Barat yang baru no 17 tahun 2022. Dimana didalamnya tertera ketentuan yang menyatakan pengakuan terhadap filosofi “ADAT BASANDI SYARA’, SYARA’ BASANDI KITABULLAH” merupakan bahagian kehidupan bermasyarakat di Sumatera Barat. Ini seharusnya menjadi kebahagiaan yang mesti disyukuri oleh masyarakat Sumatera Barat.
Perjuangan panjang menghadirkan Bank Nagari Syari’ah, sampai saat ini sudah dilalui oleh masyarakat dan daerah. Sejak tahun 2006 dimulai dibukanya Unit Usaha Syari’ah pada Bank Nagari sebagai respon atas keinginan besar masyarakat Sumatera Barat untuk mendapatkan layanan perbankan secara Syari’ah.
Seiring dengan perkembangan yang ada, keluar UU 21 tahun 2008 tentang perbankan Syari’ah. Dimana pada pasal 68 ayat 1 “Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya undang undang ini, maka Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah”.
Perkembangan UUS atau batas waktu 15 tahun menjadi tolok ukur yang harus jadi Perhatian Pemerintah Daerah dan Bank Nagari. Karena limit waktu 15 tahun akan berakhir tahun 2023. Dalam arti lain, Unit Usaha Syari’ah harus menjadi Bank Umum Syari’ah pada tahun 2023 atau tidak sama sekali.
Dalam perjalanan perbankan Bank Nagari untuk hadir beriringan antara Bank Nagari dan Bank Nagari Syari’ah di Sumatera Barat sesuai peraturan perbankan adalah sangat berat. Untuk itu peluangnya adalah konversi dari Bank Konvensional ke Bank Syari’ah atau Bank Nagari akan berubah menjadi Bank Nagari Syariah.
Namun, dipenghujung perjalanan menuju Bank Syariah, masyarakat sumatera barat dikejutkan oleh penolakan 9 kepala daerah. Yang menarik, Kab. Agam yang memiliki slogan AGAM MADANI pun kepala daerah termasuk yang menolak. Apakah sikap kepala daerah sudah merepresentasikan harapan masyarakatnya ? Tentu ini menjadi pertanyaan yang mendasar bagi sang Kepala Daerah. Besar harapan kebijakan strategis yang akan sangat mewarnai kehidupan masyarakat, betul betul dapat diserap dengan hati nurani.
Banyak daerah yang telah menjadikan Bank Daerah berbasis Syari’ah sebagai pilihan untuk mendorong kehidupan religius ditengah tengah masyarakat. Seperti Aceh, Jawa Barat, NTB, dll.
Akankah keberadaan Bank Nagari Syari’ah GAGAL diwujudkan ? Walaupun jalan panjang telah ditempuh, banyak dinamika dilewati, berbagai persyaratan dipenuhi. Tersisa syarat yaitu Peraturan Daerah dan persetujuan pemegang saham. Walaupun sebelumnya sudah ada kesepakatan pemegang saham, tapi dengan munculnya penolakan 9 kepala daerah, tentu ini menjadi perhatian kita semua.”(ANTO)