Oknum Hiperseks Masrio Dinilai Berjaya Kendalikan Oligarki Hukum di Lampung Timur
Jakarta – jurnalpolisi.id
Sinyalemen Ketua Komite I DPD RI, Senator Fachrul Razi, S.I.P., M.I.P., tentang peran oligarki hukum di Lampung Timur dalam kasus kriminalisasi wartawan mulai menemukan kebenarannya. Parahnya, oligarki hukum yang melibatkan institusi Polres, Kejari, dan Pengadilan Negeri di kabupaten yang terkenal dengan Taman Nasional Way Kambas-nya itu ternyata bisa dikendalikan oleh seorang oknum tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua bermental bandit dan hiperseks, bernama Masrio.
Oknum tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua yang bergelar Rajo Puting Ratu itu dinilai sangat piawai dan berhasil mengatur ketiga institusi itu melalui oknum-oknum aparat oportunis untuk mewujudkan hasrat bejatnya, memenjarakan para wartawan. “Bayangkan saja, sekali mendayung, oknum peselingkuh yang hiperseks itu dapat memenjarakan 4 orang wartawan sekaligus. Tidak main-main, salah satu dari keempat wartawan itu adalah tokoh pers nasional dan pemimpin sebuah organisasi pers internasional, PPWI,” ujar seorang warga Lampung Timur yang minta namanya disamarkan, Rabu, 6 Juli 2022.
Warga Lampung Timur, sebut saja namanya Budi Ulung, ini menyatakan keheranannya atas vonis hakim PN Sukadana yang di luar akal sehat manusia normal. “Mengherankan saja bagi saya, hanya merobohkan papan bunga yang isi tulisannya melecehkan wartawan dan layak dirobohkan, Wilson Lalengke bisa dihukum 9 bulan penjara. Logika hukum setan iblis saja tidak separah itu menghukum manusia,” ujar Budi Ulung yang mengaku tinggal di Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung.
Dalam pernyataan persnya beberapa waktu lalu, Fachrul Razi mengatakan bahwa oligarki lokal telah melahirkan tatanan pelaksanaan sistem hukum di Lampung Timur yang buruk. Senator asal Aceh itu menyitir fakta penanganan hukum atas kasus Peristiwa Sebelas Maret 2022 atau dikenal dengan nama PERSEMAR-22 yang melibatkan Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, yang sangat kental dengan kepentingan non-hukum dari pihak tertentu.
Hal tersebut diperkuat dengan ditemukannya tidak kurang dari 71 kejanggalan, ketidaksesuaian, dan kebohongan keterangan saksi-saksi dan ahli dalam dokumen BAP yang dijadikan dasar penangkapan dan penahanan Wilson Lalengke dan dua rekannya, Edi Suryadi dan Sunarso. “Belum lagi soal penyidik siluman, polisi hello-kity, serta pemalsuan dokumen dan tanda tangan di berkas sumpah beberapa saksi,” ujar Danny Siagian, Ketua II DPN PPWI yang saat ini menjalankan fungsi sebagai Ketua Harian Kepengurusan PPWI Nasional.
Ketua Tim Penasehat Hukum Wilson Lalengke, Advokat Ujang Kosasih, S.H. juga mempertanyakan pertimbangan Majelis Hakim PN Sukadana yang terkesan sesuka hati dalam memutuskan perkara. “Argumentasi hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam memutuskan perkara Pasal 170 ayat (1) KUHPidana terkesan menyederhanakan masalah, tanpa menyentuh esensi persoalan hukum yang sebenarnya dari kasus tersebut,” terang Ujang Kosasih, kepada media ini, Rabu, 6 Juli 2022.
Dalam salinan putusannya, sambung Ujang Kosasih, Majelis Hakim beralasan bahwa unsur tindak pidana Pasal 170 KUHPidana tentang kekerasan terhadap orang dan barang, sudah terpenuhi. “Argumentasi hakim hanya tentang dua unsur pidana, yakni ‘barang siapa’ dan ‘dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang’. Padahal unsur pidana yang harus terpenuhi dalam Pasal 170 KUHPidana itu harus mencakup niat batin pelaku. Salah satu unsur yang dipersyaratkan dalam Pasal 170 itu adalah terganggunya kepentingan umum dan lebih spesifik lagi terganggunya sistem pemerintahan. Pada kasus ini tidak ada niat jahat klien kami untuk mengganggu kepentingan umum, apalagi mengganggu pemerintahan yang sah. Di negara Belanda, negeri asalnya Pasal 170 KUHPidana itu, pasal ini hanya digunakan untuk memproses para demonstran yang merusak fasilitas umum dan mengganggu ketertiban umum,” beber advokat dari Baduy, Banten, ini panjang lebar.
Dari sisi kerusakan barang, kata Ujang Kosasih lagi, faktanya semua papan bunga itu masih utuh, tidak rusak, dan masih didirikan kembali. “Jadi, kesimpulan kami para PH, Majelis Hakim tidak fair dalam menilai fakta-fakta persidangan dalam kasus ini. Itulah sesungguhnya yang dimaksudkan oleh Menkopolhukam, Prof. Mahfud MD, tentang industri hukum. Kasus vonis 9 bulan untuk klien kami, Wilson Lalengke, adalah contoh industri hukum yang sangat buruk yang dilakukan dan dikendalikan oleh kepentingan tertentu,” tegas Ujang Kosasih.
Sementara itu dari Rutan Polda Lampung, Wilson Lalengke, menyampaikan bahwa dirinya tidak terkejut dengan putusan hakim. Alasannya, dia sudah tahu sejak awal bahwa hakim pasti akan berupaya melakukan yang terbaik untuk sang pemesan dan pengendali kasus ini.
Dari proses penangkapan, demikian Wilson Lalengke, penahanan, pemindahan penahanan dari Polres Lampung Timur ke Rutan Polda Lampung, restorative justice yang gagal, persidangan-persidangan yang dikendalikan ketua majelis hakim secara sangat otoriter, penolakan penangguhan penahanan oleh hakim, pelarangan liputan wartawan di persidangan, adanya ancaman hakim terhadap wartawan dan media massa, dan pembelaan hakim terhadap saksi verbalisan dari penyidik Polres Lampung Timur, semuanya itu mengindikasikan bahwa hakim diduga kuat telah dibeli oleh oknum tertentu. Menurut Wilson Lalengke, oknumnya cukup banyak, antara lain oknum PWI, oknum Dewan pers Pecundang, oknum Polda Lampung, dan oknum polisi bejat yang selama ini dendam terhadap sepak-terjang PPWI bersama jaringan medianya.
“Dari beberapa informasi yang masuk ke saya, yang paling mungkin mengatur semua ini adalah oknum tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua bermental mesum hiperseks Masrio yang bergelar Rajo Puting Ratu itu. Dia ngent*t sana-sini, istrinya mengadu ke wartawan Muhammad Indra, diberitakan, eh dia menyuap wartawan. Parahnya, Polres Lampung Timur putar-balik fakta, katanya wartawan memeras Masrio. Selanjutnya Kejari Lampung Timur aminkan, hakim vonis wartawan satu tahun. Sempurna sudah oknum hiperseks Masrio itu mengendalikan ketiga institusi tersebut melalui oknum-oknum aparatnya yang nir-moral,” tutur lulusan pasca sarjana bidang Etika Terapan dari Universitas Utrecht, Belanda, dan Universitas Linkoping, Swedia, itu melalui Sekretariat PPWI Nasional, Rabu, 6 Juli 2022.
Mau bukti? Salah satu fakta adalah pernyataan oknum penyimbang adat Buay Beliuk Negeri Tua bernama Azzohirry, mantan ketua PWI Lampung Timur dua periode, yang mengaku bahwa dia kirim 300 nasi kotak ke Polres Lampung Timur pada acara press conference Kapolres pada hari Senin, 14 Maret 2022 lalu. “Belum terhitung uang saku para wartawan yang hadir meliput acara tersebut. Media Tribun TV yang menyiarkan acara itu secara live beberapa hari, dibayar berapa mereka itu? Siapa yang menyediakan dananya?
“Dari informasi rekan-rekan media di Lampung Timur, yang bersangkutan sampai jual tanah untuk membiayai saya dan kawan-kawan masuk penjara. Pertanyaannya, siapa-siapa yang dibayar oleh oknum itu? Ini harus ditelisik pihak terkait. Institusi pengawas instansi-instansi pelaksana hukum jangan berpangku tangan saja, harus proaktif menyelidiki hal ini. Wartawan sudah beri sinyalemen terkait kemungkinan adanya jual-beli kasus di Polres Lampung Timur, Kejari Lampung Timur, dan Pengadilan Negeri Sukadana,” tambah Wilson Lalengke tanpa merinci sumber informasi yang diterimanya.
Contoh sederhana, kata alumni program persahabatan Indonesia Jepang Abad-21 itu, penitipan dirinya bersama dua rekannya di Rutan Polda Lampung adalah hal yang aneh. “Tapi dengan uang semua bisa jadi sesuatu yang lumrah. Emang kalian pikir kami bertiga dititipkan di Rutan Polda Lampung tidak pakai duit? Sekarang pertanyaannya duit siapa yang dipakai dan kepada siapa uang itu dibayarkan?” ungkap Wilson Lalengke mempertanyakan fenomena aneh ini. (TIM/Red)