Membersikan Prilaku Koruptif dan Mewuhudkan Polisi Jujur
Jakarta – jurnalpolisi.id
Bahwa suatu keniscayaan untuk mewujudkan Polisi Jujur. Oleh karenanya Polri perlu terus berbenah untuk membersihkan perilaku koruptif ( utamanya terkait : setoran/upeti atasan dan bawahan; mafia atau industri hukum; pungli di Reserse/Polantas/Sisbinkar Sdm Polri) dari segelintir oknum anggota yang mencoreng nama baik dan merugikan Institusi Polri.
Gus Dur pernah menyatakan dalam guyonan kepada wartawan bahwa “polisi jujur” itu ada tiga, yaitu :
-pak Hoegeng Iman Santoso,
-patung polisi dan
-polisi tidur. Guyonan saat itu disampaikan merupakan kritikan Gus Dur untuk menjawab pertanyaan wartawan perihal moralitas polisi yang saat itu kian banyak dipertanyakan publik dan menjadi sorotan media.
Sebenarnya Gus Dur menyampaikan guyonan tersebut dalam konteks Polri era Orde Baru, dimana Polri dimanfaatkan untuk mengawasi rakyat, sehingga harus diubah pada era Reformasi.
Ada kemungkinan ungkapan polisi baik atau polisi jujur menurut Gus Dur adalah polisi ideal seperti pak Hoegeng Iman Santoso yaitu polisi yang:
-memiliki sikap satunya kata dengan perbuatan dan lurus hati, menyatakan yang fakta sebenar-benarnya terjadi, tidak berbohong.
-tidak mudah disuap,
-tidak korupsi,
-tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun dalam melaksanakan fungsi, peranan dan tugas Polri sesuai dengan kewenangannya, dan
-tidak takut dicopot dari jabatannya.
Hubungan pak Hoegeng dengan patung polisi dan polisi tidur adalah karena keduanya memenuhi syarat sebagai polisi baik dan jujur, tidak korupsi, tidak mau menerima suap, tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun dan berlaku sama untuk semua orang.
Apabila saat ini guyonan Gus Dur di atas banyak di daur ulang oleh siapapun tidak perlu disikapi oleh anggota polisi atau organisasi Polri dengan emosi atau kemarahan, Polri tidak anti kritik, akan tetapi harus dijadikan bahan introspeksi untuk selalu berupaya membuktikan bahwa polisi jujur bukan hanya polisi patung dan polisi tidur. Karena Polri memang tidak bisa menafikan bahwa masih ada polisi tidak jujur dalam pelaksanaan tugasnya.
Mengapa perilaku polisi sering diberitakan sebagai brutal, bertindak melampaui kewenangan, korupsi atau mudah disuap ? Setidaknya bisa digambarkan sebagai berikut :
-Pertama, dalam pemberitaan dikenal istilah bad news is good news atau berita yang tidak baik adalah merupakan berita baik yang menjadi prioritas untuk ditulis dan disebarkan. Sedangkan polisi jujur yang melaksanakan tugasnya dengan baik, menolong masyarakat, dan memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat bukan merupakan berita prioritas untuk ditulis di media. Karena perbuatan baik polisi tersebut sudah menjadi kewajiban polisi dalam melaksanakan tugasnya, kurang mengutungkan dari sisi peningkatan rating untuk diberitakan;
-Kedua, Polri sendiri belum begitu peduli dengan laporan tentang polisi baik dan polisi jujur dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan kata lain polisi mengetahui bahwa masih lebih banyak polisi baik dan polisi jujur daripada polisi tidak baik atau polisi tidak jujur, sehingga polisi tidak memiliki data tentang polisi jujur.
Grand Strategi Polri 2005-2025, Program Promoter, dan Program Presisi Polri kalau kita baca dengan teliti dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayan Polri. Semua Program tersebut bagus tetapi sepertinya belum memperhitungkan masalah:
-kebebasan masyarakat menyatakan pendapat melalui media sosial, dan
– pameo bad news is good news.
Untuk menyikapi permasalahan ini, maka upaya Polri untuk mengatasinya adalah Polisi jangan lagi bekerja biasa-biasa saja, sekarang ini Polisi mesti bekerja ekstra biasa.
Oleh karenanya perlu terus ditumbuh kembangkan sosok dan postur insan Polisi Jujur.
Polisi Jujur yang secara filosofis mengandung makna yang mendalam dapat diwujudkan dengan cara :
1. Membangun Anggota Polisi sebagai insan Bhayangkara Negara sejak sedari awal:
-sudah harus memiliki sikap batin, pikiran, dan ucapan yang sejalan dengan nilai-nilai agama, moral, kesusilaan, dan kemanusiaan serta sejalan pula dengan kaidah-kaidah hukum sesuai konsep NKRI sebagai negara yang berdasar hukum.
2. Menumbuh kembangkan Sosok insan dan postur Polisi Jujur, yang Idealnya :
Pada tataran das sollen:
-memiliki budi pekerti yang luhur, dan
-memiliki kendali moral (moral restrain) yang kuat dalam diri setiap insan Polri.
Pada tataran das sein, idealisme yang demikian itu tercermin :
-kedalam sikap, perilaku, dan tindakan yang taat pada hukum, -melaksanakan tugas-wewenang secara profesional dan akuntabel, serta
– dapat menahan diri untuk tidak tergoda untuk melakukan ‘abuse of power” (penyalahgunaan wewenang), ‘misuses of authority'(melampaui wewenang), dan’arbitrary'(bertindak sewenang-wenang) untuk memperkaya diri atau pamer (show off) kekayaan dengan mengusik rasa keadilan masyarakat.
Semuanya itu, untuk menjadi Polisi Jujur bisa terwujud bilamana dalam diri setiap insan Polisi tumbuh dengan sadar keinsyafan dan motivasi menjadi Polisi adalah panggilan jiwa untuk mengabdi sebagai “Bayangkara” Negara, bukan mencari kekayaan atau untuk menjadi kaya melalui penyalahgunaan kewenangannya.
Sementara itu, harus dihindari adanya sikap “ Polisi patung dan Polisi Tidur” yang secara filosofis – mengandung makna sebagai Polisi yg pasif, kaku, serba normatif ataupun berpijak pada asas legalitas secara rijid tanpa perduli sikon dan masalah yang dihadapi, serba tertutup, dan tdk akuntabel dlm pelaksanaan tugas-wewenangnya.
3. Dalam rangka membangun Polisi Jujur, bukan Polisi Patung atau Polisi Tidur, menjadi sangat penting untuk mengintensifkan pelaksanaan kebijakan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo dengan konsep Polri yg Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi yang Berkeadilan (Presisi).
Konsep tersebut mengandung makna bahwa Polri harus mampu mengantisipasi, mempredik, sekaligus menjawab perubahan dan tantangan yang dihadapi sebagai akibat dari dinamika masyarakat, perubahan global, akibat yg ditimbulkan dari kemajuan IT serta mampu bertanggung jawab,transparan, dan peka terhadap rasa keadilan masyarakat dalam pelaksanaan tugas-wewenang Polri.
Konsep Presisi ini agar “membumi” dari Atas sampai ke level Polsek (sebagai ujung tombak, wajah, dan etalase citra Polri), selain membutuhkan waktu sosialisasi secara kontinyu, juga harus disertai semacam ‘Buku Saku/Buku Pintar” yang menterjemahkan konsep Presisi, sehingga mudah dipahami dan dimengerti oleh anggota Polri pada umumnya dan terutama oleh anggota Polri yang ada di level Polsek.
4.Mengintesifkan Reward/pemberian penghargaan kepada anggota yang berprestasi dan Punishment/hukuman kepada anggota yang mencoreng nama baik dan merugikan Institusi Polri.
Bahwa ungkapan Kapolri Listyo : “Ikan busuk mulai dari Kepala (Rotte vis vanaf de Kop)” harus dilaksanakan secara konsisten dan sungguh-sungguh. Kebijakan “potong kepala” atau pencopotan jabatan Kepala Satuan yang membiarkan atau tidak berani menindak anggotanya yang melakukan pelanggaran atau “pecat polisi nakal”(dibidang Pembinaan maupun Operasional).
5.Dibuka jalur komunikasi seluas luasnya utk masukan masyarakat terhadap kualitas pelayanan dan perilaku anggota yang membebani dan meresahkan masyarakat, juga sebaliknya masukan positif harus dijadikan salah satu aspek pemberian reward kepada anggota yang bersangkutan
6.Lakukan evaluasi berkala (triwulan) terhadap kinerja kesatuan dan anggota. Mabes Polri dan jajarannya harus konsekuen dan konsisten untuk menerapkan azas reward and punishment.
6. Kesejahteraan anggota terutama yg bertugas di garda pelayanan dan penegakan hukum perlu mendapatkan perhatian, setidaknya penggajian anggota Polri bisa/diusulkan setara dengan gaji petugas pajak, bank atau KPK.
7. Penekanan dan pengawasan kepada Kasatwil atas kinerja dan kiprah anggota dilapangan dengan menggunakan media formal dan informal utk mendapatkan masukan dari masyarakat
8. Manfaatkan fasilitas teknologi utk meminimalisir interaksi fisik anggota dengan masyarakat untuk meminimalisir faktor kesempatan terjadinya penyimpangan pelayanan polisi.
9. Penempatan SDM Polri pada Fungsi Propam dan Irwas
mesti diisi oleh personil2 yang akan di promosikan jangan justru personil2 yang bermasalah
10. Hilangkan kebiasaan “atasan meminta kebawahan atau bawahan wajib setor ke atasan”. Perlu penertiban dan pemberian sanksi tegas kepada siapapun atasan yang menerima/meminta setoran dari bawahan atau bawahan memberi upeti kepada atasan.
11. Para Kasatwil dan semua anggota harus mengedepankan penampilan “low profile” dan menghindarkan kesan “ekslusif” agar tidak menjadi sorotan masyarakat yang akan membandingkan dengan tingkat pendapatan yg diperoleh dari dinas.
Salam Presisi.
Jkt, 1 Juli 2022.
IJP Purn. Drs Sisno Adiwinoto MM/Ketua Penasihat Ahli Kapolri.
Rendi