Tambora Ruang Seni Hadir Di Parungpanjang Bogor

Juni 24, 2022

BOGOR – jurnalpolisi.id

Perupa Adikara kembali menggelar pameran tunggalnya, setelah sebelumnya juga berpameran tunggal dalam event Parade Pameran Tunggal 51 Perupa yang selenggarakan oleh BOSEN2020. Pameran tunggal Adikara kali ini akan diselenggarakan di Tambora Ruang Seni, tepatnya di Markas Besar Komunitas Rumah Anak Bumi di Jalan Cemara I No. 12, Perumnas 1, Kecamatan Parungpanjang Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat, akan diresmikan oleh Pustanto selaku Kepala Galeri Nasional Indonesia, yang juga mendapat dukungan dari Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta, Aidil Usman, dan dibuka pada jam 14:30 Sabtu siang 25 Juni hingga 25 Juli 2022.

Sebuah pameran yang boleh dibilang istimewa bahkan penting bagi perjalanan kesenian seorang Adikara. Mengapa demikian karena pada pameran tunggalnya kali ini dihadirkan kepada publik sebuah rangkaian kekaryaan Adikara pada satu dekade pertama ia mulai menggambar pada tahun 1976 ketika ia masih duduk dibangku SD hingga SMP di Garut , Jawa Barat. Lalu tahun 1984 pindah Cimahi, dimana di kota kecil itu terhitung sejak 1985 Adikara intensif lagi menggambar kota dan desa secara on the spot.

Bahkan lahir juga karya-karya anomali dibuat setelah mulai berkesempatan melihat berbagai pameran lukisan di kota Bandung. Karya-karya sejak 46 tahun lalu tsb masih tersimpan rapi.

Pameran yang dikemas dengan judul  “Jejak“ sesungguhnya bisa dibaca sebagai  sebuah kompilasi karya – karya gambar dibuat oleh Adikara dikisaran tahun 1976  – 1986, yang walaupun tersimpan hanya 50an karya dari sekian banyak karya yang sebagian besar hilang, rusak dan hilang.

Tema ini mengagambarkan tentang perjalanan menggambar masa lampau seorang Adikara ketika masih masih duduk dibangku SD hingga sebelum menjadi mahasiswa FSRD ITB, yang tentu belum mengenal sama sekali berbagai prinsip, teori, dan pengetahuan dunia gambar atau seni rupa. Namun Adikara menekuninya karena memang menggemari, menikmati dan ternyata menjadi satu-satunya kegiatan personal yang tak bisa dibisa diganggu oleh siapapun.

Karya-karya yang dihasilkan adalah hasil dari bagaimana intensitas seorang Adikara yang sejak dulu memang melakoni dunia gambar-menggambar seperti halnya bermain di kebun, berenang di sungai atau kumpul dengan teman-teman.

Dan ternyata kebiasaan menggambar telah membentuk cara berfikir visual lebih dominan daripada verbal dan matematika menurut Adikara. Banyak hal jadi mudah dicerna bila diutarakan dengan atau dalam gambar.

Adikara seringkali membayangkan atau mengingat objek/peristiwa adalah hal yang biasa, dan itu tidak istimewa baginya dimasa itu, tetapi tentunya tidak semua menjadi gambar, karena menggambar nyatanya tidak selalu mudah, punya kerumitan tersendiri menurut catatan Adikara.

Berbagai tema gambar yang dihasilkan oleh Adikara, baik berupa sketsa, drawing hingga gambar yang sudah memakai cat air, pastel dll. Dalam pameran ini kita akan menyaksikan lukisan pemandangan yang ia hasilkan 46 tahun lalu, juga sketsa, drawing suasana pasar, bioskop, para pedagang di pasar, tukang becak, wajah-wajah sahabat, hingga gambar yang dihasilkan dengan mencontoh dari gambar yang ada di majalah, buku dll. Garis-garis Adikara sejak dulu sudah terliht kuat, lugas, spontan.

Sesungguh ia telah mampu membuat gambar-gambar yang hidup. Dalam artian Adikara sesungguhnya tidak selalu menggambar semua objek gambarnya presisi atau anatomis misalnya ketika ia menggambar orang atau sekumpulan orang. Namun Adikara justru mengutamakan atau sangat mampu menggambar suatu suasana dengan sangat baik. Berbagai adegan atau gerak-gerik, gestur orang di pasar misalnya, dalam gambar-gambar yang dihasilkan Adikara terlihat sekali suasana pasarnya yang rame, penuh percakapan tawar-menawar, becek, kotor, dan lain, seolah bisa kita rasakan ketika melihat gambar-gambarnya.

Begitu juga dengan gambar-gambar lainnya, semua gambar memang mampu menampilkan suasana yang diabadikan oleh Adikara.

Karya-karya kurun waktu 10 tahun yang terarsip ini ternyata bukan direncanakan, tetapi spontanitas semata, bisa juga karena alasan lain yang Adikara tidak ingat. Karena awalnya tidak akan menyangka  atau tidak menyadari nilai dan manfaatnya dikemudian hari. Dan dalam pameran ini karya-karya saat masih SD hingga SMP tersebut ternyata merupakan “jejak” yang begitu berarti , bahkan teramat penting yang bahkan bisa disebut fondasi awal yang faktanya merupakan konstruksi kuat bagi proses berkarya dipuluhan tahun berikutnya, bagi lahirnya ratusan atau bahkan ribuan karya berikutnya. Baik saat kuliah seni rupa, lalu menjadi perupa dan menjadi dosen seni rupa hingga hari ini.

Dari apa yang telah dikerjakan Adikara dengan menekuni dunia menggambar telah merubah hidupnya menjadi lebih berwarna. Ketekunin serta kesetiaan terhadap pilihan yang ia kerjakan sejak dahulu telah membawanya ke berbagai kegiatan kebudayaan, seni rupa, dan pendidikan seni rupa. Menggambar telah menjadi bagian keseharian perupa Adikara. Menggambar adalah jalan memaknai kehidupan.

Kurator pameran ini Reydo Respati menegaskan bahwa melihat karya-karya gambar Adikara yang dipamerkan pada akhirnya melihat kesenangan personal yang menjadi konstruksi pertama Adikara menggambar, diawali dari gambar sederhana meniru referensi, kemudian dalam perjalanannya beranjak ke proses internalisasi dan dialog antara subjek dengan objek pada life drawing yang membentuk konstruksi kedua dimana kepekaan artistik, intuitif-rasional, dan pendekataan imajinatif sebagai nafas menggambarnya.

Gambar menjadi menjadi bahasa yang digunakan Adikara untuk mengungkapkan apa yang dialami-dirasakan-dipikirkan, baik secara mental maupun indrawi, dengan tingkat penghayatan yang terus tumbuh. Kedua konstruksi itu fundamental yang pengaruhnya sangat signifikan dimasa-masa berikutnya, dan tampaknya tidak pernah selesai seiring pengkayaan pengalaman dan praktik menggambar Adikara intensitasnya tidak menurun sampai hari ini. Jejak gambar yang ditorehkan hampir empat dekade silam, hari ini berbagi muatan pengalaman dengan kita.

Pameran tunggal Adikara berjudul Jejak adalah inisiasi dari William Robert, seniman penggiat seni rupa yang merintis Tambora Ruang Seni bersama Ridwan Manantik pendiri Rumah Anak Bumi. (HSMY).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *