Penyidik Berbohong di Persidangan dan Ditemukan Tanda Tangan Palsu di Berkas Sumpah, Saatnya Hakim Buktikan Ucapannya
Jakarta – jurnalpolisi.id
Sidang pemeriksaan terhadap saksi verbalisan, penyidik dari Polres Lampung Timur telah berlangsung pada Senin, 13 Juni 2022 lalu. Dalam sidang ke-9 tersebut, JPU menghadirkan 2 orang penyidik atas nama IPDA Hendra Abdurahman, S.Sos, M.H. dan IPDA Meidy Hariyanto, S.H.,, M.H.
Berdasarkan pantauan di ruang sidang, kedua saksi verbalisan ini diduga kuat telah memberikan keterangan bohong, atau setidaknya tidak sesuai dengan fakta dan ketentuan hukum yang berlaku. Saksi Hendra Abdurahman misalnya, dia mengatakan bahwa perlakuan menyiksa dengan memukuli, menyeret, dan melemparkan orang atau warga yang ditangkap karena disangka telah melakukan tindak pidana, telah sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP). Namun, setelah ditelusuri segala peraturan yang ada, baik peraturan di tingkat konstitusi dan perundang-undangan maupun peraturan di tingkat internal lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), pernyataan oknum polisi itu tidak benar. Dugaan kebohongan oknum “polisi siluman” Hendra Abdurahman di persidangan telah diberitakan di ratusan media se nusantara beberapa waktu lalu.
Baca juga: Oknum Polisi Lampung Timur Mengatakan Penyiksaan Tersangka Sudah Sesuai SOP, Alumni Lemhannas Pertanyakan Kinerja Divisi Propam Polri (https://pewarta-indonesia.com/2022/06/oknum-polisi-lampung-timur-mengatakan-penyiksaan-tersangka-sudah-sesuai-sop-alumni-lemhannas-pertanyakan-kinerja-divisi-propam-polri/)
Sama dan sebangun dengan koleganya, saksi Meidy Hariyanto juga terindikasi kuat telah berbohong terkait aturan pembuatan dokumen Berkas Acara Pengambilan Sumpah/Janji yang disertakan di BAP para saksi di Polres Lampung Timur. Dalam kesaksiannya di persidangan, Meidy Haryanto menyatakan bahwa berkas sumpah di BAP dapat dibuat dan disertakan di BAP para saksi dan atau ahli walaupun mereka tidak mengangkat sumpah.
“Berkas sumpah itu hanya formalitas, untuk kelengkapan persyaratan formil saja. Ini sudah sesuai SOP,” kata Meidy Hariyanto dalam persidangan yang digelar pada Senin, 13 Juni 2022 lalu itu.
Ketika ditanyakan ketentuan atau SOP yang mengatur soal berkas sumpah yang bisa ditandatangani oleh saksi tanpa mengangkat sumpah atau janji melalui prosesi pengambilan sumpah secara faktual, Meidy Hariyanto menunjuk Perkap No. 6 tahun 2019. Namun, setelah ditelusuri isi Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, tidak ada satu pasal atau ayatpun ditemukan di dalamnya yang terkait dengan pengambilan sumpah atau janji.
“Sudah sangat terang-benderang saksi verbalisan Meidy Hariyanto itu menyampaikan keterangan bohong di persidangan. Majelis Hakim juga sempat menanyakan ke Meidy Hariyanto terkait peraturan dan ketentuan pengambilan sumpah di tingkat penyidikan di Polres Lampung Timur yang dijawab oleh saksi Meidy Hariyanto dengan menyebut Perkap Nomor 6 tahun 2019 itu,” ungkap PH Wilson Lalengke, Advokat Daniel Minggu, S.H., kepada media ini menjawab pertanyaan wartawan terkait polemik berkas sumpah yang ditandatangani saksi dan ahli tanpa melalui prosesi pengambilan sumpah seperti layaknya seorang mengangkat sumpah dengan melafalkan sumpah di depan saksi dan petugas lainnya, usai persidangan.
Lebih parah lagi, setelah diteliti dengan cermat, ternyata terdapat beberapa dokumen Berkas Acara Pengambilan Sumpah/Janji yang dipalsukan tanda tangan saksinya. “Yang sudah pasti, ada tiga berkas sumpah yang sangat berbeda tanda tangan saksinya dengan tanda tangan di BAP yang bersangkutan,” imbuh Daniel Minggu.
Dari pengamatan wartawan atas tanda tangan di BAP dan berkas sumpah para saksi, ahli, dan tersangka, yang diperlihatkan PH Wilson Lalengke ke awak media, terlihat jelas perbedaan tanda tangan mereka di kedua berkas tersebut. “Kita sudah lihat dan cermati, termasuk menanyakan kepada rekan kita yang anggota polisi juga, bahwa tanda tangannya hampir pasti dipalsukan. Tiga saksi yang tanda tangannya berbeda antara di BAP dengan di berkas sumpah adalah saksi korban pemilik papan bunga Yulis binti Yusuf dan Wiwik Sutinah binti Slamet, serta saksi Amuri bin Samsudin,” beber advokat Daniel Minggu lagi.
Menanggapi kebohongan dan dugaan pemalsuan tanda tangan pada berkas acara sumpah para saksi tersebut, Ketua Tim PH Wilson Lalengke, Advokat Ujang Kosasih, S.H., menyampaikan bahwa pihaknya sangat menyayangkan kinerja Kejaksaan Negeri Lampung Timur yang kurang jeli memeriksa berkas perkara yang disodorkan pihak Polres Lampung Timur kepada mereka. “BAP perkara Ketum PPWI dan kawan-kawannya ini amburadul. Kita menemukan tidak kurang dari 71 kejanggalan, ketidaksesuaian, ketidaksinkronan, kealpaan, copy-paste, dan begitu banyak kesaksian bohong di BAP tersebut, yang berbeda dengan keterangan para saksi di persidangan. Tambah lagi masalah berkas sumpah yang dilampirkan tapi saksinya mengaku tidak disumpah, dan dugaan kuat adanya pemalsuan tanda tangan saksi. Berbahaya sekali jika kita membangun hukum di atas kebohongan, pemalsuan, dan rekayasa hukum,” ujar Ujang Kosasih menyesalkan kinerja JPU.
Sementara itu, Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., MA., meminta agar Majelis Hakim membuktikan kebenaran ucapannya di persidangan bahwa pihaknya akan bersikap dan bertindak netral dalam menangani perkara ini. “Sudah jelas-jelas kedua oknum saksi verbalisan dari Polres Lampung Timur itu berbohong di persidangan, tambah lagi ada pemalsuan tanda tangan saksi di Berkas Acara Pengambilan Sumpah/Janji, apakah itu belum cukup untuk menetapkan para penyidik itu telah melakukan tindak pidana? Semestinya Majelis Hakim memerintahkan agar keduanya ditangkap dan diproses hukum ya,” tegas Wilson Lalengke dalam pernyataannya melalui Sekretariat PPWI Nasional atas permintaan responnya terkait dugaan kebohongan penyidik dan pemalsuan tanda tangan saksi, Jumat, 17 Juni 2022 kemarin.
Sebagai seorang alumni lembaga pendidikan kepemimpinan nasional tertinggi di negara ini (Lemhannas RI – red), demikian Wilson Lalengke, dia amat prihatin melihat fakta bahwa aparat penegak hukum bisa melakukan tindakan tidak bermoral seperti itu. “Mereka itu adalah orang-orang yang dididik untuk menegakkan aturan hukum, lah mereka sendiri yang melanggar aturan hukum yang akan ditegakkannya. Jelas orang-orang seperti itu kualitas moralnya bukan lagi rendah, tapi di bawah nol alias minus,” tegas lulusan pasca sarjana bidang Etika Terapan dari Universitas Utrecht, Belanda, dan Universitas Linkoping, Swedia, itu dengan mimik kecewa.
Oleh karena itu, sambung Wilson Lalengke, dirinya berharap agar dari proses hukum yang ia jalani bersama rekannya Edi Suryadi dan Sunarso, para petinggi di masing-masing institusi penegak hukum melakukan evaluasi dan perbaikan sesegera mungkin terhadap jajarannya hingga ke tingkat paling bawah. “Saya berharap banyak kepada Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, segeralah lakukan evaluasi dan pembenahan di lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pintu masuk pertama yang dilalui warga menuju penjara adalah unit penyidikan di Polri, selain di Kejaksaan, KPK, dan lainnya. Jika unit penyidikan ini dibiarkan menggunakan kewenangannya dengan seenak udelnya, yah inilah hasilnya, penegakan hukum di negeri ini bukan lagi berdasarkan hukum tapi dominan berdasarkan keinginan pemegang kewenangan,” jelas tokoh pers nasional yang mengaku banyak mendapat keluh-kesah dari rekan Polri senior selama ini. (TIM/Red)