Kapolda NTT Tidak Gentleman?
Oleh: Dominggus Elcid Li Kupang – jurnalpolisi.id Seorang laki-laki dikatakan gentleman jika ia berani menyelesaikan apa yang ia mulai. Seorang laki-laki dikatakan gentleman jika ia berani menemui perempuan yang datang menemuinya. Seorang laki-laki dikatakan gentleman jika ia tidak mengabaikan para Ibu yang berusaha untuk bertemu dengannya. Seorang laki-laki dikatakan tidak gentleman jika ada orang yang lebih tua datang dan ingin memberitahu kekeliruannya dan ia menghindari. Berdasarkan ukuran-ukuran ini bisa dikatakan Kapolda NTT tidak gentleman. *Apa Susahnya?* Sudah sekian kali Kapolda NTT menghindar pertemuan dengan dua orang Ibu yang menjadi juru runding para demonstran. Di tengah panas dan badai hujan angin Desember 2021 dua orang Ibu setia menemani para demonstran dan keluarga yang mencari keadilan. Mereka setia berjalan kaki berkilo-kilometer dengan niat menemui Kapolda NTT. Bahkan di tengah diabetes yang mendera tubuh seorang Ibu, yang sedang rawat jalan ia tetap berusaha datang untuk memberitahu kesalahan Kapolda NTT. Apakah Kapolda NTT keliru? Soal delik hukum, pembahasan soal detil pidana, urusan kriminalitas. Itu semua ada dalam kewenangan polisi. Seorang dengan jabatan Kapolda tidak mungkin tidak paham urusan penyidikan dasar, penetapan kasus, penentuan pasal, penetapan status tersangka, pengumpulan barang bukti, dan pemeriksaan secara mendetil ‘seluruh kemungkinan’ yang mungkin menjadi motif pelaku. Usaha itu tidak terlihat dalam kasus yang sedang ditangani. Jika Kapolda NTT ingin mendengar detil hukum yang dilaksanakan secara keliru oleh Polda NTT dalam kasus yang sedang diprotes, kami akan datang dengan tim pakar hukum pidana untuk memberitahu apa yang tidak ada dalam hukum pidana dan dipraktekan oleh Polda NTT. Dengan jabatan Kapolda tidak lah sulit mengumpulkan para pakar hukum pidana untuk mendapatkan masukan. Dengan jabatan Kapolda tidak sulit mengumpulkan catatan para analis hukum yang sudah dikeluarkan untuk membahas kasus ini. Namun, hal yang paling tidak dimengerti bukan lah soal hukum prosedural, tetapi soal mengapa Kapolda NTT tidak berani menemui dua orang perempuan. Sengaja dua orang perempuan ini ditonjolkan dalam tulisan ini, karena mereka menurut saya adalah wakil dari publik yang paling jernih. Dua orang perempuan yang menjadi juru bicara para demonstran adalah Pdt. Emmy Sahertian dan Sr. Laurentina. Kedua orang ini adalah penjemput jenasah di cargo bandara El Tari. Selama hampir 5 tahun ini, dua orang Ibu ini adalah penjemput tetap jenasah buruh migran asal NTT. Mereka terbiasa melihat jenasah dan memprotes hal-hal yang dianggap mencurigkan. Dalam hal ‘melihat jenasah’, pengalaman mereka di atas Kapolda NTT. Sebelum kembali ke Kupang, Ibu Emmy adalah pelayan di Rumah Sakit Cikini, DKI Jakarta hampir 30 tahun. Suster Laurentina adalah ‘pengantar tetap’ seluruh jenasah buruh migran yang tiba. Ya, jumlahnya ratusan dan mendekati ribuan dalam 5 tahun ini. *Kapolri Keliru* Jika meminjam perumpamaan Kapolri beberapa waktu lalu tentang ikan dalam membicarakan penataan korps Polri, tidak mungkin kepala ikan ditukar begitu saja, pada saat kasus sedang berjalan. Kekeliruan Kapolri ada beberapa. Pertama, ‘beban personal’ dalam kasus ini menjadi terlalu berat sehingga akan menjadi beban bagi Kapolda pengganti. Meskipun Polri ada adalah sebuah institusi, dan sistem yang dibangun senantiasa dibuat se-imparsial mungkin, tetapi dalam penafsiran dan pelaksanaan di tingkat pertama tahapan peradilan ‘sentuhan personal’ pejabat Kapolda NTT malah terlihat dalam kasus ini. Kedua, dalam kasus yang dianggap menjadi perhatian publik, mutasi pejabat seharusnya tidak dilakukan jika PR-nya belum diselesaikan. Publik akan menganggap bahwa Polri tidak berusaha mendudukan perkara secara benar. Ketiga, sebagai salah satu institusi yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat karena menjalankan skema public surveillance, Polri harus bersedia menerima masyarakat yang datang padanya. Kritik yang ditujukan kepada Polri adalah ketidakmauan untuk menerima warga yang ingin memberikan masukan. Sebaliknya malah ikut memainkan bola di media sosial. Polri sebagai sebuah lembaga harus profesional dalam menangani kasus, dan tidak membiarkan kasus menjadi bola liar yang disepak bebas. *Harapan Publik* Untuk itu, surat mutasi Kapolda NTT ke Polda Maluku seharusnya tidak dijalankan karena ada alasan khusus. Mutasi anggota adalah kewenangan Kapolri, tetapi pada saat yang sama jika masyarakat menganggap masih ada ‘beban’ yang belum diselesaikan warga bisa meminta penundaan. Kami berterimakasih diberikan Kapolda yang baru dengan catatan kerja yang baik, tetapi pada saat yang sama kami meminta agar Kapolri memberikan mandat kepada Kapolda saat ini untuk mendudukan perkara secara benar, sebelum dipindahkan ke tempat tugas yang baru. Secara personal seorang laki-laki bisa dikatakan gentleman jika: (1) ia tidak memberi beban kepada orang lain, (2) ia berani menerima kritik, (3) ia menghargai perempuan yang datang meminta pertemuan, dan (4) ia menghormati orang yang lebih tua yang ingin bertemu. Seorang polisi yang baik tidak menutup mata terhadap ‘rasa ketidakadilan publik’. Seorang polisi yang baik tidak pernah lari dari tanggungjawab. Untuk itu Kapolda NTT tidak perlu diganti sebelum mendudukan perkara secara benar. Hal-hal semacam ini menjadi indikator penilaian keseriusan ‘omongan Kapolri’. Di satu sisi Kapolri berbicara serius tentang pembenahan institusi, tetapi dalam pelaksanaannya di Kupang, Nusa Tenggara Timur malah tidak terjadi. Lembaga kepolisian harus dijaga kewibawaannya dengan memastikan semua langkah yang diambil sesuai dengan prosedur. (*) _Penulis adalah Direktur IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change)_