Dewan Pers Surati Media Terkait Pemberitaan, Wilson Lalengke: Berhentilah Jadi Backing Penjahat
Desember 4, 2021
Jakarta – jurnalpolisi.id Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (Ketum PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, bereaksi keras atas sikap dan perilaku Dewan Pers yang terkesan pro penguasa dan pengusaha dalam merespon pengaduan mereka. Dia bahkan menegaskan agar lembaga yang disinyalir malfungsi itu harus menghentikan kiprahnya menjadi backing atau tameng bagi para penjahat. Hal itu disampaikan Ketum PPWI merespon beberapa fenomena penyelesaian masalah pemberitaan yang berproses di Dewan Pers selama ini. “Saya dengan tulus hati meminta kepada Dewan Pers untuk kembali kepada kitahnya, melaksanakan fungsinya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Stop jadi pembela maling, koruptor, mafia tanah, perampok lahan warga, penipu, dan pejabat yang menyalahgunakan kewenangan dan keuangan negara, dan pelaku kejahatan lainnya,” tegas alumni PPRA-48 Lemhannas tahun 2012 itu, Jumat, 3 Desember 2021. Sudah terlalu banyak kasus pemberitaan, lanjut Lalengke, yang ditangani Dewan Pers yang terlihat dengan terang-benderang ketidak-berpihakkan lembaga itu kepada kemerdekaan pers. “Selalu yang disalahkan adalah wartawan, terutama ketika si wartawan dan media berhadapan dengan orang berkuasa dan/atau orang berduit. Hampir tidak pernah kita dengar bahwa Dewan Pers membela karya jurnalistik yang dihasilkan wartawan. Kalaupun ada, hanya sebatas keprihatinan dan tidak melakukan pembelaan sama sekali,” sesalnya atas perilaku Dewan Pers yang saat ini sedang digugat di MK oleh beberapa organisasi pers. Dalam catatan PPWI, tambah Lalengke, banyak kasus pemberitaan yang berproses di Dewan Pers yang seharusnya menempatkannya pada posisi membela wartawan, minimal dia harus bersifat netral. Kenetralan Dewan Pers dapat ditunjukkan dengan memberikan penjelasan kepada pihak pengadu bahwa mereka harus mengedepankan dan menghormati UU Pers, bukan dengan menggiring para wartawan yang diadukan untuk diproses menggunakan peraturan di luar UU Pers. “Wartawan Muhammad Yusuf mati di penjara karena diproses hukum sesuai rekomendasi Dewan Pers yang menegaskan agar wartawan Muhammad Yusuf harus diproses menggunakan KUHPidana terkait pemberitaannya yang membela hak-hak warga masyarakat Kalsel yang dirampok oleh pengusaha mafia tahun 2018 lalu [1]. Pada kasus wartawan Toro Ziduhu Laia di Pekanbaru agak berbeda. Toro divonis 1 tahun penjara atas pemberitaan tentang dugaan korupsi Bupati Bengkalis, kemudian terbukti sang Bupati Amril Mukminin divonis Hakim Tipikor 4 tahun penjara [2]. Toro diproses hukum, salah satunya karena rekomendasi Dewan Pers tidak bergigi alias tidak berefek. Menurut saya itu kelemahan Dewan Pers yang memberikan pembelaan setengah hati, tidak sungguh-sungguh, asal beri rekomendasi saja,” beber tokoh pers nasional yang gigih membela para wartawan selama ini. Padahal, kata Lalengke lagi, penguatan Dewan Pers yang dimaksudkan oleh para pimpinan organisasi pers yang berkumpul pada Agustus 2003 di Jakarta adalah agar Dewan Pers lebih berdaya dalam mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional [3]. “Yang terjadi sekarang justru sebaliknya, Dewan Pers dengan perkasa mengkerdilkan kemerdekaan pers dan gagal meningkatkan kehidupan pers nasional,” ujar lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, itu. Keberpihakan Dewan Pers kepada pengusaha terlihat juga pada kasus pemberitaan yang dipersoalkan pemilik Kopi Kapal Api, Mimihetty Layani. Walaupun Dewan Pers memberikan arahan agar si pengadu –yang hanya diwakili oleh penasehat hukumnya– memberikan hak jawab, tapi justru lembaga itu lebih banyak menceramahi dan menyalahkan wartawan dengan tudingan belum uka-uka alias UKW (Uji Kompetensi Wartawan) dan medianya belum terverifikasi. Wartawan dipaksa meminta maaf untuk kesalahan yang tidak jelas, dan wajib mengikuti UKW dengan biaya jutaan rupiah, plus medianya harus didaftar-verifikasikan dengan biaya puluhan juta rupiah [4]. “Apa korelasinya antara kebenaran/fakta yang diberitakan oleh wartawan dengan uka-uka dan verifikasi media? Yang jelas, wartawan memberitakan hasil investigasi dan penelusuran fakta di lapangan melalui orang-orang yang terlibat dalam persoalan yang menjadi obyek pemberitaan. Suruh Mimihetty dong membuktikan keberatannya, bukan dengan menyalahkan wartawan,” beber Lalengke. Pada kasus teranyar, seorang pengusaha pengembang perumahan, Kwan Jimmy, mengadukan ratusan media yang memuat berita berjudul “Gerah Diberitakan, Pengembang Perumahan Taman Sepatan Grande Sebarkan Berita Hoax” [5], lagi-lagi Dewan Pers terkesan membela mati-matian pengusaha yang diduga telah menipu para nasabah atau pembeli unit di perumahan yang dikelola oleh Kwan Jimmy itu. Pasalnya, Dewan Pers memberikan penilaian yang serampangan terhadap berita yang dipublish pada 9 September 2021. Dewan Pers mengirimkan surat ke puluhan (mungkin ratusan – red) media yang memuat berita itu dengan tuduhan sadis pelanggaran kode etik jurnalistik, tanpa merinci kalimat dan/atau paragraf yang dinilai melanggar kode etik, Pasal 1 dan Pasal 3 tersebut. Tidak hanya itu, Dewan Pers juga mewajibkan media-media meminta maaf kepada Kwan Jimmy atas pemberitaan yang dinilai mencemarkan nama baiknya itu. Bahkan, dengan pongahnya Dewan Pers mengancam wartawan dengan menyebutkan ancaman pidana 2 tahun dan denda 500 juta rupiah dalam suratnya, jika media tidak memuat hak jawab Kwan Jimmy dengan tambahan catatan permintaan maaf di media masing-masing [6]. “Sejak kapan Dewan Pers jadi hakim yang bisa memutuskan seorang wartawan dan media bersalah atau tidak bersalah? Jangan salahkan publik jika mereka menilai Dewan Pers, yang berlogo bunga kuburan (bunga kamboja), itu go-block alias te-o-te-o-el,” ujar Lalengke. Untuk itu, Ketum PPWI yang juga merupakan Pimpinan Redaksi Koran Online Pewarta Indonesia (Pimred KOPI) ini menyarankan kepada Dewan Pers beberapa hal berikut. Pertama, di era media 4.0 yang ditandai dengan pers kolaboratif saat ini, Dewan Pers harus mampu berfungsi sebagai penjaga kemerdekaan pers, yang tidak terkooptasi dan/atau terintervensi oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan pribadi/golongan, terutama yang secara faktual telah merugikan kepentingan masyarakat banyak. Dewan Pers semestinya turun ke lapangan meneliti kebenaran berita yang disampaikan oleh media massa, bukan hanya mendengar dari oknum pengadu yang merasa dirugikan akibat pemberitaan. Kedua, Ketua Dewan Pers seharusnya mengambil kebijakan dan keputusannya berdasarkan fakta lapangan terhadap sebuah informasi yang disampaikan oleh media massa kepada publik, bukan mendasarkan penilaian atas perasaan dan/atau pertimbangan kepentingan oknum pengadu belaka. Contohnya, kepentingan warga masyarakat yang dirugikan oleh pengadu yang diberitakan dalam kasus Perum Taman Sepatan Grande yang diperjuangkan oleh para jurnalis harus menjadi dasar utama bagi Dewan Pers. Ketiga, Dewan Pers jangan gegabah dalam mengambil sikap dalam persoalan publikasi dan pemberitaan saat ini dan ke masa depan. Sikap hati-hati perlu menjadi bagian dari roh Dewan Pers dalam menjalankan tugasnya sebagai pengembang kemerdekaan pers dan pelopor kemajuan kehidupan pers nasional. Dunia pers kini sudah berkembang demikian pesat dan cepat dengan dinamika yang sangat kompleks, terutama karena didukung hadirnya teknologi informasi yang memungkinkan semua orang dapat dengan mudah melibatkan diri dalam kegiatan jurnalisme. Jika pengurus Dewan Pers tidak berbenah dan melakukan akselerasi kemampuan intelektual dan wawasan tentang informasi, pers, dan media massa dengan segala kompleksitasnya, niscaya lembaga itu akan terus tenggelam dalam masalahnya sendiri: lembaga pecundang yang menghabiskan anggaran negara tanpa hasil. (APL/Red) Catatan: [1] Dalih Polisi Pidanakan Yusuf, Wartawan yang Meninggal di Lapas; https://tirto.id/dalih-polisi-