Bupati Aceh Timur Minta masyarakat Selamatkan Hutan
Idi Rayeuk, jurnalpolisi.id
Bupati Aceh Timur H. Hasballah bin Muhammad Thaib meminta masyarakat agar tidak melakukan perambahan hutan, masyarakat juga diminta untuk hidup berdampingan dengan hutan. “Dengan selamatnya hutan, Aceh Timur akan terhindar dari bencana khsusnya bencana banjir. Sehingga dengan selamatnya hutan akan selamat mansia dan hewan dilindungi,” ujar Bupati Aceh Timur, H. Hasballah bin H.M thaib pada acara peletakan Batu Pertama Pembangunan Sumatran Rhino Sanctuary (SRS) atau Suaka Badak Sumatera di Desa Rantau Panjang, Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur, Kamis (11/11)
Bupati menambahkan, masyarakat mendukung penuh pembangunan Suaka Badak Sumatera. Aceh Timur mempunyai luas hutan 7300 hektar. Kenapa pemerintah mendukung penuh pembangunan suaka badak suamatera, karena akan membangkitkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dengan kehadiran suara badak, dan satwa dilindungi juga akan selamat. “dengan adanya Suaka Badak Sumatera, ekonomi jalan satwa dan hutan selamat. Program ini demi suksesnya Aceh Timur. Yang penting juga satwa dilindungi yang hampir punah dapat terselamatkan. Mudah-mudahan ini bermanfaat buat Aceh Timur dan untuik dunia internasional,” harap Hasballah.
Direktur Pengelolaan Kawasan Konservasi KLHK, Jefry Susyafrianto, MM mengatakan kegiatan tersebut melibatkan semua unsur untuk bertanggungjawab untuk menyelamatkan Badak Sumtaera yang sudah langka.
“kita menyadari bahwa masyararakat adalah garda terbaik untuk melindungi hutan. Sehingga kita perlu perhatikan ekonomi masyarakat, ini merupaman jalan keluar untuk mensukseskan kegiatan ini,” papar Jefry Susyafrianto. Ia menambahkan peletakan batu pertama pembangunan SRS di Kabupaten Aceh Timur ini sebagai tahap awal proses pembangunan sarana prasarana pendukung pengelolaan SRS dan merupakan bagian dari rangkaian kegiatan rencana aksi darurat penyelamatan Populasi Badak sumatera 2018-2021.
“Yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Nomor: SK.421/KSDAE/SET/KSA.2/12/2018 serta menjadi implementasi dari upaya pengawetan jenis khususnya Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Provinsi Aceh untuk menghindari bahaya kepunahan Badak Sumatera, menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis, memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem sebagaimana diamanatkan pada pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, serta pasal 3 Qanun Aceh Nomor 11 tahun 2019 tentang pengelolaan satwa liar,” jelas Jefry.
Tambahnya, pembangunan SRS dilaksanakan oleh Konsorsium Badak Utara yang terdiri dari Forum Konservasi Leuser (FKL), Aliansi Lestari Rimba (ALerT), Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala dan Fakultas Kedokteran Hewan IPB University, dengan dukungan dari TFCA-Sumtera serta dari Bupati Aceh Timur dan Steering Committee yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal KSDAE Nomor:SK.95/KSDAE/KKH/KSA.2/5/
kelancaran dan keberhasilan proses pembangunan SRS di Kabupaten Aceh Timur didasarkan atas konsistensi komitmen serta dukungan dari semua pihak baik pelaksana, Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, Mitra, Media masa maupun masyarakat khususnya yang ada di Desa Rantau Panjang. Kendala-kendala dalam proses pembangunan SRS ke depan diharapkan dapat diatasi dengan kebersamaan dan musyawarah semua pihak.
Jefri juga menuturkan hasil kegiatan monitoring terhadap kantung-kantung populasi Badak sumatera di Pulau Sumatera menunjukan bahwa ekosistem hutan di Provinsi Aceh merupakan satu-satunya habitat yang terbukti masih menjadi habitat Badak sumatera liar, sehingga diharapkan pelaksanaan pengelolaan SRS atau Suaka Badak sumatera ke depan dapat menjadi wahana kebersamaan semua pihak dalam upaya pelestarian Badak sumatera sebagai asset hayati kebanggaan masyarakat Aceh pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
“Badak sumatera merupakan salah satu jenis satwa liar dilindungi di Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/