MALAM 1 SURO MASYARAKAT JAWA TIRAKAT DAN INTROPEKSI DIRI .
Catatan Budaya Adiluhung: KP Norman Hadinegoro. SE, MM Jakarta – jurnalpolisi.id Bisanya Kedatangan tahun baru ditandai dengan berbagai kemeriahan, seperti pesta kembang api, keramaian tiupan terompet, maupun berbagai arak-arakan di malam pergantian tahun. Kirab Pusaka dan Kebo bule ditiadakan Karaton Surakarta selama PPKM.Lain halnya dengan pergantian tahun baru Jawa yang jatuh tiap malam 1 Suro (1 Muharram) yang tidak disambut dengan kemeriahan, namun dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri. Saat malam 1 Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa). Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro. Tradisi Ritual 1 Suro telah dikenal masyarakat Jawa sejak masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645 Masehi). Saat itu masyarakat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu. Sementara itu umat Islam pada masa Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah.Sebagai upaya memperluas ajaran Islam di tanah Jawa, kemudian Sultan Agung memadukan antara tradisi Jawa dan Islam dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.Kirab Kerbau Kyai Slamet Dilingkungan keraton Surakarta Hadiningrat upacara ini diperingati dengan kegiatan kirab mengililingi beteng keraton. Dimulai dari kompleks Kemandungan Utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan keraton dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan Utara. Dalam profesi pusaka keraton menjadi bagian utama pada barisan terdepan baru kemudian diikuti para pembesar keraton, kerabat dan jajaran keraton yang lengkap dengan pakaian keratonnya, dan akhirnya oleh masyarakat. Uniknya pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian tersendiri bagi masyarakat. Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, kebo bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut penanggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton. Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika menyaksikan kirab. Karaton Surakarta memiliki suatu kebudayaan yakni kirab malam satu sura, dimana kirab tersebut merupakan arak-arakan pusaka-pusaka keraton Surakarta dan sekelompok kerbau bule yang sering disebut Kerbau Bule Kyai Slamet. Sebagian masyarakat Surakarta banyak yang beranggapan bahwa barang siapa yang bisa mendapatkan kotoran atau feces dari kerbau bule Kyai Slamet pada malam satu Sura, akan diberi keselamatan dan ditambahkan rezeki. Para pelaku ritual malam satu sura dan mempercayai kepercayaan akan Ngalap Berkah Kyai Slamet pada ritual malam satu Sura,Fenomenologi perilaku ngalap berkah Kyai Slamet, merupakan proses atribusi yang berasal dari persepsi dan dipengaruhi oleh locus of cusality Internal dan Eksternal, dimana persepsi yang muncul antara lain: 1) Raja adalah orang yang Luar Biasa.2) Raja merupakan orang yang paling dekat dengan Dewa (Tuhan).3) Keinginan Manunggaling Kawula Lan Gusti (Menjadi satu dengan Tuhan / dekat dengan Tuhan).4) Semakin dekat dengan Raja maka dekat pula dengan Tuhan.5) Kerbau bule yang disimbolkan dengan Raja, maka sesuatu yang keluar dan sisa dari kerbau bule Kyai slamet juga dianggap sesuatu yang dianggap sama dengan apa yang dikeluarkan oleh seorang raja. Demikian