Larang Wartawan Ambil Video Persidangan, Alumni Lemhannas: Hakimnya Perlu Belajar Bahasa Indonesia Lagi
Januari 6, 2021
Serang – jurnalpolisi.id
Ada hal aneh bin ajaib terjadi hari ini, Selasa, 5 Januari 2021, di Pengadilan Negeri Serang, Banten. Ketika itu sedang berlangsung persidangan kasus dugaan pemalsuan dokumen dan memasukan keterangan palsu yang disangkakan kepada terdakwa berinisial LH, salah satu direksi sebuah perusahaan bata ringan (hebel) di Cikande, Kabupaten Serang (1). Persidangan yang dimulai sekitar pukul 4 sore itu dihadiri tidak kurang dari 20-an wartawan dari berbagai media nasional dan daerah.
Di saat persidangan akan dimulai, salah satu perwakilan wartawan memohon izin kepada Majelis Hakim untuk dilakukan peliputan persidangan itu. Ketua Majelis Hakim, Dr. Erwantoni, SH, MH (2) menyatakan mengizinkan dilakukan peliputan dengan hanya boleh mengambil gambar statis alias foto saja.
Hakim Erwantoni beralasan bahwa dirinya merujuk kepada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 tahun 2020, tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan. Menurutnya, dalam Perma tersebut disebutkan bahwa pengunjung, termasuk wartawan, hanya boleh mengambil foto, tidak boleh mengambil video.
“Berdasarkan Perma Nomor 5 tahun 2020, wartawan boleh meliput tapi hanya boleh mengambil gambar foto pada saat sebelum persidangan dimulai, tidak boleh mengambil video selama persidangan,” ujar Hakim Ketua Erwantoni yang bergelar doktor itu.
Tentu saja hal ini tidak dapat diterima oleh para wartawan. Namun, untuk menghormati ruang sidang dan kegiatan persidangan, para wartawan dengan terpaksa mengikuti saja arahan ‘sesat’ sang hakim yang memimpin persidangan kasus ini. Usai persidangan, para wartawan meminta klarifikasi ke Ketua Majelis Hakim, Erwantoni, terkait pelarangan peliputan dengan perekaman video itu.
Sang hakim berkilah bahwa ia hanya menjalankan peraturan yang telah dibuat oleh pimpinannya, yakni tidak diperkenankan wartawan melakukan peliputan video di ruang persidangan. “Tujuannya adalah untuk menjaga ketenangan dan keamanan persidangan. Berdasarkan pasal 4 Perma Nomor 5 tahun 2020, wartawan hanya boleh mengambil foto, tidak diperbolehkan mengambil video,” urai Erwantoni seraya meminta para wartawan membuka dan membaca Perma Nomor 5 tahun 2020.
Ketika didesak untuk memberikan pendapat apakah Perma lebih tinggi tingkatannya dari Undang-Undang, sang hakim mengelak memberikan jawaban dan justru terkesan melempar bola dengan mengatakan bahwa Perma itu dibuat oleh Mahkamah Agung. “Silahkan pertanyakan ke Mahkamah Agung,” katanya.
Para wartawan kemudian menyela, “Berarti Bapak mau mengatakan bahwa MA yang melanggar pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers? (3)” Sang hakim justru terlihat gagap dan emosi, dan mengatakan bahwa dia tidak bermaksud demikian. “Kita bukan untuk berdebat di sini, saya hanya menjelaskan bahwa Perma itu mengatur tentang protokol persidangan, dan ketentuannya tidak boleh ada pengambilan video, yang boleh itu pengambilan foto sebelum persidangan,” katanya sambil terlihat menahan amarah.
Usai klarifikasi itu, saat dimintai tanggapannya atas peristiwa pelarangan pengambilan video di persidangan oleh Hakim Erwantoni, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke menyampaikan bahwa dirinya sangat prihatin dengan perilaku hakim itu, yang bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia saat ini dan ke depannya. Menurutnya, demokrasi itu menuntut keterbukaan, transparansi, dan kejujuran dalam semua aspek. Salah satu pilar utama demokrasi adalah wartawan, yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk melakukan pengumpulan dan penyebaran informasi.
“Kalau dilarang-larang begitu, bagaimana mungkin wartawan dapat mengumpulkan informasi secara detail, lengkap dan kompresensif? Padahal, salah satu alat bukti dari sebuah fakta adalah hasil rekaman, baik rekaman suara, foto maupun video,” beber Wilson Lalengke yang merupakan Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu, Selasa, 5 Januari 2021.
Namun demikian, setelah membaca dan menelaah isi Perma Nomor 5 tahun 2020, kata Wilson, ternyata Hakim Erwantoni itu yang tidak teliti dan terkesan asal bunyi. “Hakim itu sangat perlu memahami dengan benar setiap kata, frasa, dan kalimat yang digunakan dalam sebuah peraturan, terutama Perma Nomor 5 tahun 2020 ini,” kata lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, Inggris, ini.
Lebih lanjut, pria yang selama ini getol membela kemerdekaan pers di Indonesia itu menjelaskan bahwa Perma tersebut tidak melarang wartawan melakukan peliputan, termasuk mengambil video atau gambar bergerak, di dalam persidangan. Berdasarkan Pasal 4 ayat (6) Perma Nomor 5 tahun 2020, jelas dikatakan bahwa ‘Pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual harus seizin Hakim/Ketua Majelis Hakim yang bersangkutan yang dilakukan sebelum dimulainya Persidangan’ (4).
“Dalam ayat ini sangat jelas terlihat bahwa rekaman audio dan/atau rekaman audio visual dapat dilakukan atas seizin hakim atau ketua majelis hakim. Mungkin Hakim Erwantoni itu tidak paham maksud frasa ‘audio visual’ yang merupakan kata lain atau ungkapan lain dari video yaa,” ujar Wilson yang juga menyelesaikan program pasca sarjananya di bidang Applied Ethics di Utrecht University, Belanda, dan Linkoping University, Swedia, itu.
Hakim yang memimpin sidang juga harus punya alasan yang jelas dan kuat untuk tidak mengizinkan wartawan melakukan pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual (video – red). Dalam ayat selanjutnya (ayat 7) dari Pasal 4 Perma tersebut disebutkan bahwa pengambilan foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat dilakukan dalam Persidangan tertutup untuk umum. Ini artinya, hakim tidak akan memberikan izin kepada wartawan untuk mengambil foto, rekaman audio dan/atau rekaman audio visual jika persidangan itu dinyatakan tertutup (5).
Untuk diketahui bahwa pada Pasal 2 Perma Nomor 5 tahun 2020 dituliskan bahwa ‘Semua sidang pemeriksaan Pengadilan bersifat terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain’ (6). Berdasarkan ketentuan itu maka hampir semua persidangan harus dinyatakan terbuka dan bisa diliput menggunakan peralatan foto, perekam suara dan kamera video. Sebagaimana lazimnya, hanya persidangan kasus yang terkait asusila dan persidangan anak saja yang biasanya dinyatakan tertutup untuk umum.
Oleh karena itu, kata Wilson, dirinya menganjurkan kepada Hakim Erwantoni agar kembali kuliah Bahasa Indonesia dengan benar. “Tingkatkan lagi kemampuan Anda memahami arti dan makna kata-kata, frasa, dan kalimat. Ini sangat penting, karena nasib warga yang berurusan hukum ada di tangan hakim sebagai wakil Tuhan. Jangan sampai karena rendahnya kemampuan memahami kata, frasa, idiom, kalimat, dan lain-lain yang digunakan dalam peraturan perundangan, maka sesatlah putusan yang diambil sang hakim atas nasib orang yang disidang,” pungkas Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) ini berharap. (APL/Red)