ICMI JABAR MELAWAN RADIKALISME DAN TERORISME
Oleh : Ayik Heriansyah
Merespon fenomena tersebut, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) organisasi wilayah (orwil) Jawa Barat mengadakan pelatihan deradikalisasi di kalangan pemuda, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat di hotel Puri Khatulistiwa Jatinangor pada hari Minggu, 20/12/2020. Pelatihan yang diikuti oleh puluhan pengurus ICMI Orwil Jabar ini menghadirkan narasumber yang sangat berkompeten Direktur Pencegahan BNPT Brigjen. Pol. R, Ahmad Nurwakhid, S.E, MM dan Prof. Dr. Asep Warlan sebagai Dewan Pakar ICMI Orwil Jabar.
Sejarah radikalisme dan terorisme tidak lepas dari sejarah kaum Khawarij di abad pertama umat Islam. Prof. Dr. Moh. Najieb dalam kata sambutannya mengatakan, Khawarij bentuk penyimpangan dari ajaran Islam. Paham yang mengkafirkan orang Islam (takfiri) tidak bisa dibenarkan, apalagi sampai membunuh menghilangkan nyawa orang yang tidak sepaham. Sebagaimana disitir dalam sebuah hadits yang intinya mengatakan al-qaatil wal maqtul fin naar (yang membunuh dan yang terbunuh tempatnya di neraka).
Dalam paparannya, Direktur Pencegahan BNPT Brigjen. Pol. R. Ahmad Nurwakhid menerangkan bahwa radikalisme dan terorisme saling terkait. Radikalisme adalah paham yang ingin mengubah ideologi, bentuk dan sistem negara secara cepat tanpa melalui jalan demokrasi konstitusional. Radikalisme adalah tangga menuju terorisme. Jika terorisme itu diibaratkan buah, maka radikalisme yang menjadi pohonnya. Meskipun demikian, tidak semua orang yang radikal menjadi teroris, akan tetapi setiap teroris pasti berpaham radikal.
Terorisme merupakan metode dari kelompok radikal dalam mewujudkan tujuan mereka dengan menggunakan ancaman dan tindak kekerasaan yang dapat menimbulkan suasana teror dan ketakutan serta kerusakan fisik. Terorisme termasuk perbuatan kriminal yang luar biasa (extra ordinary crime). Sebagai suatu perbuatan kriminal, aksi terorisme terjadi karena ada niat dan kesempatan. Setiap orang punya kecenderungan berbuat baik atau jahat. Agar potensi jahat tidak berubah menjadi niat jahat, maka harus dilakukan pencegahan.
Di sinilah urgensi upaya pencegahan radikalisme dan terorisme yang menurut amanah undang-undang dilakukan melalui kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi (kontra ideologi radikal, kontra propaganda dan kontra narasi radikal) dan deradikalisasi. Kesiapsiagaan nasional dan kontra radikalisasi ditujukan kepada warga masyarakat yang belum terpapar tetapi mereka berpotensi terpapar paham radikal yang disebabkan oleh pengetahuan yang minim dan parsial tentang ajaran Islam, menyimpan rasa kekecewaan dan kebencian kepada penguasa atau pemerintah yang mendalam, mengalami tekanan akibat beban-beban kehidupan yang ditanggungnya, kemiskinan dan lain sebagainya.
Berbeda dengan aksi penindakan dan penegakkan hukum terhadap calon pelaku dan pelaku tindak pidana terorisme yang sudah mempunyai payung hukum yaitu UU no. 5 tahun 2018, maka terhadap para penganut paham radikal terutama yang mengatasnamakan agama belum ada perangkat hukum yang bisa menjeratnya secara pidana , selain paham komunisme, marxisme dan leninisme (Tap MPRS/25/1966). Oleh karena itu, upaya penanggulangan terhadap radikal-terorisme harus dilakukan secara holistik mulai dari aspek hulu (radikalisme) hingga hilir (terorisme), dengan memprioritaskan pencegahan secara intensif dengan melibatkan semua kementerian dan lembaga, BUMN, civil society, serta ormas-ormas Islam moderat.
Upaya pencegahan berupa kesiapsiagaan nasional dan kontra radikalisasi guna memberi imunitas (kekebalan) ideologi bagi warga masyarakat yang belum terkontaminasi paham radikal. Upaya pencegahan juga memberi kekuatan atau vaksin ideologis kepada warga masyarakat yang berpotensi besar terpapar paham radikal dalam berjuang melawan paham tersebut.
Sedangkan deradikalisasi dalam upaya pencegahan, ditujukan kepada anggota masyarakat yang sudah terpapar paham radikal, pelaku aksi teror, narapidana terorisme dan mantan narapidana terorisme beserta keluarganya guna membalikkan pemahaman mereka dari radikal menjadi moderat, menghilangkan atau setidaknya mengurangi kadar radikalisme mereka.
Sementara itu, Prof. Dr. Asep Warlan melihat radikalisme dan terorisme dari aspek hukum. Radikalisme dan terorisme sudah darurat. Beliau merekomendasikan khususnya kepada ICMI Orwil Jabar agar segera melakukan gerakan kongkrit melawan radikalisme dan terorisme di Jawa Barat. Misalnya, dengan membuat artikel-artikel, pendampingan lembaga dan pondok pesantren, dan bekerjasama dengan BNPT.*