INI KRISIS, JANGAN BERPIKIR NORMAL
Jakarta – jurnalpolisi.id
Video Jokowi marah di depan para menteri ramai dibicarakan. Ia mengkritik para menteri yang menurutnya masih kerja biasa-biasa saja. Padahal suasana sedang krisis. Dalam suasana begini, memang gak bisa ditangani dengan cara biasa. Namanya juga suasana luar biasa, penanganannya harus luar biasa juga.
Saya menangkap kesan, para menteri Jokowi ini masih agak takut-takut mengambil kebijakan. Birokrasi yang lelet menggelendoti bahu mereka. Cara mengeksekusi program yang terksan biasa juga jadi pemandangan.
Pidato itu dibuka Jokowi dengan membeberkan prediksi Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional mengenai ekonomi global. Semua menunjukan dunia sedang krisis. “Kita harus satu hati. Harus paham, saat ini suasana krisis. Gak bisa kerja biasa-biasa saja,” ujarnya dengan nada agak tinggi.
“Jika untuk hasil maksimal, saya harus keluarkan Perppu, saya keluarkan. Apabila dibutuhkan Kepres, saya keluarkan. Saya pertaruhkan reputasi saya untuk 260 juta rakyat.”
Salah satu problem yang disebut Jokowi adalah penyerapan anggaran yang rendah. Presiden menyontohkan Departemen Kesehatan. Dari triliunan anggarannya baru terserap satu koma sekian persen.
Apa dampak anggaran yang tertahan? Duit gak beredar di masyarakat. Kalau duit gak beredar, ekonomi mandeg. Padahal saat ini yang salah satu yang diandalkan adalah belanja pemerintah. Soalnya sektor swasta lagi puyeng akibat Covid19.
Kalau pemerintah belanjanya mandeg, swastanya semaput, ya ekonomi terkapar.
Padahal duit ada. Anggaran cukup. Kenapa susah banget dibelanjakan? Inilah prblem birokrasi yang lelet. Gak peka suasana. Berfikir jangka pendek. Masih mikit sektoral bukan berorientasi skala nasional.
Jikapun Menkes bertanggungjawab soal kesehatan. Tapi anggarannya berdampak secara ekonomi. Artinya kebijakan Menteri yang bukan urusan ekonomi, juga berdampak secara ekonomi. Inilah yang maksud Presiden jangan berfikir biasa saja. Dunia sedang menghadapi suasana krisis ekonomi.
Kebijakan percepatan penyerapan anggaran ini dapat membantu meningkatkan daya beli. Sedikit banyak ada efek ke masyarakat. Sebab yang namanya rantai ekonomi itu tali temali.
Katakanlah honor dan tunjangan dokter dan nakes. Bukan hanya keluarga mereka yang merasakan dampaknya. Kan, uang itu akan dibelanjakan. Beli pakaian misalnya. Yang diuntungkan pedagang pakaian. Tokonya punya pegawai, bisa bayar gaji. Pakaiannya mengambil dari distributor. Distibutor dapat lamgsung dari pabrik.
Begitu cara mikirnya.
Daya beli menciptakan permintaan (demand) Kalau ada yang butuh sesuatu otomatis akan ada yang menyediakan (supply). Produknya harus diproduksi. Produksi butuh bahan baku. Ke semua titik itu butuh pegawai. Pegawai dapat gaji. Gaji membuat orang punya daya beli lagi. Begitu seharusnya roda berputar.
Jadi intinya adalah bagaimana masyarakat punya daya beli. Karena itu masyarakat harus punya penghasilan. Penghasilan hanya bisa didapat dengan bekerja. Butuh lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan terbuka makin lebar kalau ada investasi. Investasi semakin lancar kalau aturannya gak ribet. Aturan ribet perlu ditangani dengan menciptakan aturan baru yang menghapus aturan lama.
Semua tali temali.
Wajar saja jika dalam konteks yang lebih umum Indonesia kini sedang sibuk membahas RUU Cipta Kerja. Ujungnya adalah untuk membuat ekonomi rakyat makin bergairah. Ekonomi kita bisa bertahan serius di tengah kondisi krisis.
Tampaknya Jokowi bukan hanya marah pada para menteri. Ia juga marah pada aturan yang berbelit yang justru menghambat ruang gerak.
Kadang kita harus jujur. Kita ini kebanyakan aturan. Kebanyakan bermasalah karena soal administrasi. Bukan persoalan kerja kerasnya. Sudah saatnya deregulasi dimulai. UU dipangkas. Dalam dunia kerja kita butuh UU Cipta Kerja disyahkan lebih cepat. Agar ekonomi kita gak makin terpuruk.
(Eko Kuntadhi)